Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan menolak untuk seluruhnya permohonan uji materiil Undang- Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolahan Keuangan Haji dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji yang diajukan oleh dua orang calon jemaah haji, Sumilatun dan JN Raisal Haq.
“Amar Putusan, mengadili, menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK Arief Hidayat membacakan amar putusan nomor 12, 13/PUU-XIII/2015 dengan didampingi Tujuh hakim lainnya, Selasa (20/10), di Ruang Sidang Pleno MK.
Sumilatun dan JN Raisal Haq mengajukan dua permohonan. Dalam permohonan perkara nomor 12/PUU-XIII/2015, para Pemohon merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 6 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 12 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), serta pasal 50 UU Pengelolaan Keuangan Haji. Sedangkan dalam perkara nomor 13/PUU-XIII/2015 para Pemohon merasa dirugikan dnegan berlakunya Pasal 4 ayat (1), Pasal 5, Pasal 23 ayat (2) dan pasal 30 ayat (1) UU Penyelenggaraan Ibadah Haji. Setelah Mahkamah mencermati ketentuan yang diujikan, selain Pasal 50 UU Pengelolaan Keuangan Haji, menurut Mahkamah terdapat saling keterkaitan erat antara pasal-pasal yang diujikan dalam dua perkara tersebut. Untuk itu, Mahkamah mempertimbangkannya secara bersamaan.
Terhadap pokok permohonan, Mahkamah berpendapat bahwa pengaturan atau pengelolaan keuangan haji dimaksudkan untuk meningkatkan keuangan penyelenggaran ibadah haji, rasionalitas dan efesiensi penggunaan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH), dan manfaat bagi kemaslahatan umat islam. Untuk itu, pengelolaannya dibagi menjadi sebagai dasar untuk penerimaan, pengeluaran dan kekayaan. Dengan besarnya biaya perjalanan ibadah haji, menurut Mahkamah, pemerintah sudah tepat mengeluarkan aturan yang termuat dalam UU Pengelolaan Keuangan Haji, khususnya mengenai ketentuan yang mengatur mengenai setoran BPIH.
“Dalam UU 34/2014 masalah kepemilikan dana dan pengelolaan dana haji telah tegas diatur sehingga memberikan kepastian hukum bahwa dana setoran awal dan nilai manfaat BPIH jemaah tunggu adalah milik jemaah dan diwakilkan kepada BPKH atau Badan Pengelola Keuangan Haji,” papar Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams membacakan pendapat Mahkamah dalam putusan nomor 12/PUU-XIII/2015.
Dengan demikian, menurut Mahkamah, pengelolaan keuangan haji dalam bentuk setoran awal BPIH dan tambahan nilai manfaat dari setoran BPIH ke rekening Badan Pengelolaan Keuangan Haji (BPKH) bukan merupakan suatu bentuk pengambilalihan paksa secara sewenang-wenang hak milik calon jemaah haji atau masyarakat. Pengaturan tersebut justru memberikan kepastian hukum dan perlindungan kepada masyarakat, khususnya para calon jemaah haji demi keadilan dan ketertiban masyarakat yang dapat terkontrol pelaksanaannya.
Sementara terkait dengan Penyelenggaraan Ibadah Haji, Mahkamah berpendapat, penyelenggaraan ibadah haji perlu dikelola secara profesional dan akuntabel dengan mengedepankan kepentingan jemaah haji. “Untuk menjamin penyelenggaraan ibadah haji yang adil, profesional, dan akuntabel dengan mengedepankan kepentingan jemaah haji, diperlukan adanya lembaga pengawas mandiri yang bertugas melakukan pengawasan dan pemantauan terhadap penyelenggaraan ibadah haji serta memberikan pertimbangan untuk penyempurnaan penyelenggaraan ibadah haji,” papar Wakil Ketua MK Anwar Usman saat membacakan pendapat Mahkamah dalam putusan nomor 13/PUU-XIII/2015.
Dalam rangka mewujudkan penyempurnaan penyelenggaraan ibadah haji untuk meningkatkan kualitas, maka perlu dilakukan pembinaan, pelayanan dan perlindungan terhadap jemaah haji sejak mendaftar sampai kembali ke tanah air. “Pembinaan haji diwujudkan dalam bentuk pembimbingan, penyuluhan dan penerangan kepada masyarakat jemaah haji, Pelayanan diwujudkan dalam bentuk pemberian layanan administrasi dan dokumen, transportasi, kesehatan, serta akomodasi dan konsumsi. Perlindungan diwujudkan dalam bentuk jaminan keselamatan dan keamanan jemaah haji selama menunaikan ibadah haji,” tutur Anwar.
Berdasarkan hal tersebut, menurut Mahkamah penyelenggaraan ibadah haji secara profesional dan akuntabel tidaklah dapat dikatakan sebagai tindakan pengambilalihan harta benda warga negara secara sewenang-wenang.
Sebelumnya, para Pemohon mendalilkan bahwa pada dasarnya dana setoran awal BPIH beserta nilai manfaatnya adalah mutlak milik calon jemaah haji daftar tunggu yang tidak boleh dikuasai oleh siapapun dan harus dikembalikan kepada calon haji. Pemohon juga merasa dirugikan karena nilai setoran awal BPIH menggunakan satuan hitung mata uang rupiah, sedangkan pada saat pelunasan BPIH pada tahun berjalan menggunakan Kurs US Dollar. Didalilkan, kerugian para Pemohon akan terjadi pada saat terjadi kemerosotan nilai tukar rupiah terhadap kurs US Dollar, karena para Pemohon harus membayar biaya yang lebih banyak.
Selain itu, Pemohon juga beranggapan bahwa dikarenakan kuota haji jumlahnya sangat terbatas, maka seharusnya orang yang belum pernah haji harus diutamakan dapat berangkat haji terlebih dahulu. Menurut para Pemohon, sistem pengelolaan pendaftaran dan pelaksanaan ibadah haji yang berlaku saat ini tidak memungkinkan seseorang dapat menunaikan ibadah haji di usia muda.
Pemohon juga mendalilkan, adanya kebijakan pemerintah yang mewajibkan bagi pendaftar haji daftar tunggu untuk membayar setoran awal/cicilan BPIH Rp 25 juta dengan masa tunggu antara 15-20 tahunan adalah sangat memberatkan bagi mayoritas calon haji yang kebanyakan bukan tergolong golongan orang kaya yang berkecukupan. Menurut Pemohon, pada kenyataannya, dana setoran awal BPIH tidak dijamin keamanannya dari kemerosotan nilai tukar rupiah atas US Dollar, dan calon jemaah haji masih harus menambah biaya tambahan sebesar yang telah ditetapkan pemerintah, tanpa ada perhitungan dan penambahan dari nilai manfaat hasil pengembangannya. Untuk itu, Pemohon menilai telah terjadi ketidakpastian hukum. (Panji Erawan/IR)