Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk tidak dapat menerima permohonan yang diajukan oleh Muhammad Zainal Arifin terkait aturan praperadilan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Putusan dengan nomor 41/PUU-XIII/2015 dibacakan oleh Ketua MK Arief Hidayat pada Selasa (20/10), di Ruang Sidang Pleno MK.
“Amar putusan, mengadili, menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” ucap Arief membacakan amar putusan dengan didampingi tujuh Hakim Konstitusi lainnya.
Menurut Mahkamah, tidak terdapat hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang didalilkan Pemohon dengan dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian. Dengan demikian, Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan. “Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, karena Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo, Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan.,” papar Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul membacakan pendapat Mahkamah.
Dalam permohonannya, pemohon menguji ketentuan praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10, Pasal 77, Pasal 78, Pasal 82, Pasal 95, dan Pasal 96 KUHAP. Pemohon merasa dirugikan atas pasal-pasal yang diujikan tersebut karena pengertian dan objek praperadilan cukup terbatas. Adapun pengertian dan objek praperadilan ini terdapat dalam Pasal 1 angka 10 KUHAP menyatakan bahwa:
Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:
a. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
b. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
c. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Pemohon berpendapat, sah atau tidaknya penggeledahan, penyitaan, pencegahan ke luar negeri, dan pemblokiran rekening perlu dimasukkan dalam objek praperadilan. Pemohon yang berprofesi sebagai advokat, berpotensi mendapatkan upaya paksa, yakni penggeledahan, penyitaan, pencegahan ke luar negeri dan pemblokiran rekening. Potensi ini dapat terjadi karena advokat bisa saja dianggap mempunyai hubungan dengan tersangka atau terdakwa. Jika hal ini terjadi, maka Pemohon tidak akan dapat mengajukan upaya hukum karena pengertian dan objek praperadilan masih terbatas.
Berdasarkan dalil-dalil tersebut, Pemohon meminta agar Pasal 1 angka 10, Pasal 77, Pasal 78, Pasal 82, Pasal 95, dan Pasal 96 KUHAP dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk pula “wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang sah atau tidaknya penggeledahan, penyitaan, pencegahan ke luar negeri dan pemblokiran rekening atas permintaan pihak yang dirugikan. (Lulu Anjarsari)