Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU PPTKI) yang diajukan oleh PT Gayung Mulya Ikif dan dua orang Tenaga Kerja Indonesia (TKI).
“Amar putusan, mengadili, menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK Arief Hidayat membacakan amar putusan nomor 61/PUU-XIII/2015, Selasa (20/10), di Ruang Sidang Pleno MK.
Menurut Mahkamah, larangan atau penghentian TKI domestik (domestic worker) sebagaimana termuat dalam Pasal 81 ayat (1) UU PPTKI merupakan kewenangan Pemerintah Indonesia. Kebijakan Kementerian Tenaga Kerja untuk menghentikan sementara (moratorium) pengiriman tenaga kerja domestik ke luar negeri bertujuan agar semua pihak yang terkait melakukan evaluasi dan pembenahan sistem penempatan dan perlindungan TKI informal/domestik.
“Demikian juga mengenai penetapan negara-negara tertentu tertutup bagi penempatan TKI, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 27 ayat (1) UU PPTKI, merupakan kewenangan Pemerintah, in casu Kemenaker. Kewenangan tersebut dalam rangka mengimplemetasikan kedua pasal a quo sehingga menurut Mahkamah bukan merupakan persoalan konstitusionalitas,” papar Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna membacakan pendapat Mahkamah.
Sedangkan mengenai keberadaan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), menurut Mahkamah merupakan penjabaran dari semangat keterpaduan yang dianut dalam UU PPTKI sebagaimana terdapat pada bagian “Menimbang” huruf f UU PPTKI. Bagian “Menimbang” huruf f UU PPTKI menyatakan bahwa penempatan TKI di luar negeri perlu dilakukan secara terpadu antara instansi Pemerintah baik pusat maupun daerah dan peran serta masyarakat dalam suatu sistem hukum guna melindungi TKI yang ditempatkan di luar negeri. Berdasarkan hal tersebut, lanjut Palguna, pembentuk Undang-Undang mengamanatkan pembentukan BNP2TKI yang berfungsi untuk melaksanakan kebijakan di bidang penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri secara terkoordinasi dan terintegrasi. “Dengan demikian, keberadaan BNP2TKI merupakan pilihan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk Undang-Undang yang telah ternyata selama ini berdampak positif dalam hal penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri,” terangnya.
Lebih lanjut Mahkamah berpendapat, karena keberadaan, cakupan tugas, dan keanggotaan BNP2TKI telah ditentukan dalam UU PPTKI, maka tidak menimbulkan diskriminasi karena baik TKI yang ditempatkan oleh BNP2TKI maupun Pelaksana penempatan TKI swasta (PPTKIS) memiliki hak dan kewajiban yang sama. Adapun mengenai dalil para Pemohon yang menyatakan BNP2TKI menimbulkan inefisiensi anggaran, menurut Mahkamah, hal ini tidak relevan untuk dipertimbangkan karena menyangkut anggaran, sehingga bukanlah kewenangan Mahkamah untuk menilainya. “Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” tandas Palguna.
Dalam permohonannya, Pemohon merasa hak konstitusionalnya terlanggar dengan adanya ketentuan Pasal 11 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 81 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 94 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) UU PPTKI. Pasal 94 ayat (2) dan Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) UU PPTKI. Menurut para Pemohon, pasal-pasal yang mengatur tentang keberadaan, fungsi dan wewenang BNP2TKI tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum. Secara yuridis, lanjut Pemohon, yang memberikan perlindungan kepada TKI untuk bekerja di luar negeri (masa penempatan) baik TKI yang ditempatkan oleh BNP2TKI maupun oleh PPTKIS, yakni Perwakilan Diplomatik dan Perwakilan Konsuler. Untuk itu, keberadaan BNP2TKI menimbulkan ketidakpastian hukum dan berakibat timbulnya penyalahgunaan kekuasaan.
Para Pemohon juga mendalilkan, ketentuan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 81 ayat (1) UU PPTKI telah melarang PT. Gayung Mulya Ikif (Pemohon I) untuk menempatkan TKI Informal/TKI Domistik/PLRT. Kemudian berdasarkan pasal tersebut, Nurbayanti Binti Abdul Hamid Acen (Pemohon II) dan Abdussalam (Pemohon III) sebagai TKI Informal/Domistik/PLRT juga dilarang untuk bekerja dan mencari nafkah di wilayah Timur Tengah, yakni negara Saudi Arabia, Kuwait, Yordania, Uni Emirates Arab, Oman dan Qatar. Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 11 ayat (1), Pasal 94 ayat (1) dan ayat (2), serta pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) UU PPTKI bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sedangkan untuk Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 81 ayat (1) UU PPTKI, pra Pemohon meminta agar dinyatakan konstitusional secara bersyarat. (Lulu Anjarsari/IR)