Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk tidak dapat menerima permohonan uji materiil Undang-Undang No. 3 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 27 Tahun 2014 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2015 (UU APBN 2015) yang diajukan oleh Mahasiswa Pancasila (Mapancas) Dewan Pimpinan Daerah Kabupaten Bandung. Dalam putusannya, Mahkamah menyatakan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan perkara No. 91/PUU-XIII/2015 itu.
“Amar Putusan. Mengadili, menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” ujar Ketua MK Arief Hidayat yang memimpin langsung sidang pengucapan putusan ini, Selasa (20/10), di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah menyatakan kedudukan hukum yang dipakai Pemohon sebagai organisasi kepemudaan sama sekali tidak ada korelasinya dengan Pengujian UU APBN 2015. Meski sudah diberikan nasihat pada sidang pendahuluan agar Pemohon memperkuat kedudukan hukum yang digunakannya, namun Pemohon justru tidak melakukan hal tersebut. Diketahui kemudian, pada sidang kedua yang beragendakan pemeriksaan perbaikan permohonan, Mahkamah justru disodorkan bukti tertulis berupa surat yang pada pokoknya menyatakan bahwa pengurus DPD Mapancas Kabupaten Bandung mengetahui permohonan ini. Mahkamah menilai bukti tersebut sama sekali tidak menguatkan kedudukan hukum Pemohon.
“Namun demikian, dalam perbaikan permohonan dimaksud, Mahkamah tidak menemukan sama sekali uraian yang dapat membawa Mahkamah pada pendapat bahwa setidak-tidaknya terdapat korelasi antara kerugian hak konstitusional Pemohon dengan kualifikasi Pemohon sebagai organisasi kepemudaan, melainkan hanya tambahan uraian yang menerangkan bahwa Pemohon (Mapancas) telah terdaftar di Kementerian Dalam Negeri Nomor 258D.III.2V2010 dan penjelasan bahwa Pemohon telah mendapatkan ‘Surat Tugas’ dari Dewan Pimpinan Daerah Mapancas Jawa Barat yang diketahui oleh Dewan Pimpinan Pusat Mapancas untuk mengajukan permohonan a quo. Dengan tambahan uraian demikian, Pemohon kemudian mendalilkan dirinya telah memenuhi syarat kedudukan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK,” ungkap Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menyampaikan pendapat Mahkamah.
Bahwa karena tidak jelasnya uraian perihal kedudukan hukum Pemohon, meski Mahkamah menganggap permohonan ini cukup penting, Mahkamah tetap mencoba mencari kaitan antara kedudukan hukum Pemohon dengan kerugian hak konstitusional Pemohon. Namun demikian, ternyata Pemohon dalam alasan-alasan permohonannya justru menerangkan dalil-dalil permohonan terkait pelanggaran yang dilakukan oleh PT Sarana Multi Infrastruktur yang menyalahgunakan APBN berupa utang luar negeri untuk investasi asing di Indonesia.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, Mahkamah menyatakan sejatinya permohonan Pemohon bukanlah persoalan konstitusionalitas norma, melainkan persoalan penerapan norma dalam UU APBN 2015, di mana tentu saja bukan merupakan kewenangan MK untuk menyelesaikannya. “Oleh karena telah nyata bagi Mahkamah bahwa Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan a quo sehingga Mahkamah tidak perlu memeriksa pokok permohonan maka dengan berdasar pada Pasal 54 UU MK, tidak ada urgensinya bagi Mahkamah untuk mendengar keterangan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan atau Presiden,” tegas Palguna. (Yusti Nurul Agustin/IR)