Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan perkara pengujian materiil Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) dengan agenda mendengar keterangan Pemerintah pada Selasa (20/10). Perkara yang terdaftar dengan nomor 102/PUU-XIII/2015 tersebut diajukan oleh Bupati Morotai, Rusli Sibua yang mempermasalahkan aturan penyegeraan pelimpahan perkara ke pengadilan.
Mewakili Pemerintah, Direktur Perancangan Peraturan Perundang-Undangan Kemenkumham Dhahana Putra menyatakan, permasalahan yang diajukan Pemohon lebih condong ke pengaduan konstitusional (constitutional complaint) daripada pengujian konstitusional (constitutional review). Untuk itu, lanjut Dhahana, Pemohon tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) dan lebih tepat jika Mahkamah menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
“Adalah tepat jika Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard),” ungkap Dhahana di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat.
Kemudian terhadap dalil Pemohon yang menyatakan frasa “segera dimajukan ke pangadilan” dalam Pasal 50 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP sering disalahartikan oleh penyidik, menurut Dhahana seharusnya Pemohon memahami pasal dan ayat secara utuh sebagai satu kesatuan. Menurut Dhahana pasal tersebut ditujukan untuk menghindari penyelesaian perkara yang berlarut-larut yang berakibat penanganan perkara menjadi tidak memiliki kepastian hukum. “Maka penanganan perkara tindak pidana perlu segera untuk dilimpahkan ke pengadilan guna secepatnya mendapatkan kepastian hukum,” jelas Dhahana di Ruang Sidang Pleno MK.
Selain itu, menurut Dhahana ketentuan Pasal 50 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP ditujukan untuk mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Lebih lanjut, terhadap permintaan Pemohon agar Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) UU KPK dinyatakan berlaku inkonstitusional bersyarat, menurut Dhahana hal tersebut tidaklah tepat. Hal ini dikarenakan ketentuan Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) UU KPK yang memberikan batas waktu untuk mengajukan permohonan praperadilan sampai dengan jangka waktu dilimpahkannya berkas perkara oleh penuntut umum kepada pengadilan negeri, justru telah memberikan jaminan perlindungan hak asasi manusia yang adil dan bermartabat kepada tersangka maupun terdakwa.
Menanggapi keterangan itu, Hakim Konstitusi Manahan MP. Sitompul mempertanyakan tentang kepastian hukum yang dimaksud oleh Pemerintah. Menurut Manahan, di satu sisi pemerintah menyatakan pasal yang diuji bertujuan untuk menciptakan kepastian hukum bagi tersangka, namun di sisi lain, hak tersangka untuk mengajukan praperadilan tidak terakomodir.
“Hak-hak tersangka dalam proses praperadilan sudah dikangkangi. Nah, kira-kira di mana ini alasannya sehingga Pemerintah tetap beranggapan bahwa ini sudah memberi kepastian hukum kepada tersangka atau terdakwa?” tanya Manahan.
Kemudian, Hakim Konstitusi Patrialis Akbar juga memberikan pertanyaan terkait praktik pelimpahan perkara oleh jaksa penuntut umum. Menurut Patrialis, memang dalam UU KPK terdapat tenggang waktu pelimpahan perkara ke pengadilan, yakni 14 hari, namun di KUHAP tidak diatur tenggang waktu tersebut. “Apakah ada perkara yang berlama-lama JPU, ada yang satu bulan, dua bulan, tiga bulan, empat bulan, atau ada ukuran standarnya enggak dalam praktik yang dilakukan selama ini atau memang sama dengan standarisasi yang ada di dalam Undang-Undang KPK ini?” kata Patrialis.
Atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, pemerintah menyatakan akan memberikan jawaban tertulis dan diserahkan langsung ke kepaniteraan Mahkamah. Sidang selanjutnya diagendakan pada Rabu (28/10), dengan agenda mendengar keterangan DPR, dua ahli, dan tiga saksi dari Pemohon.
Seperti diketahui, Pemohon menguji Pasal 50 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 82 ayat (1) huruf d, Pasal 137, Pasal 143 ayat (1) KUHAP serta Pasal 52 ayat (1) dan ayat (2) UU KPK. Menurut Pemohon, pasal-pasal tersebut telah disalahartikan saat digunakan dalam penegakkan hukum, khususnya dalam hal penanganan perkara tindak pidana suap yang disangkakan kepada Pemohon. Pemohon menceritakan bahwa atas penetapan status tersangkanya, Pemohon kemudian mengajukan permohonan praperadilan. Namun, Pemohon menganggap ada unsur kesengajaan dari pihak KPK agar permohonan praperadilan Pemohon digugurkan.
“Mereka sengaja untuk menggugurkan praperadilan ini, karena untuk menggugurkan dengan alasan bahwa perkara sudah dilimpahkan, padahal kami mengajukan pra peradilan sebelum tersangka Bupati Rusli itu diperiksa sebagai tersangka sekalipun, dan bahkan pada tanggal tersebut juga masih belum ada pemeriksaan. Sehingga kami menilai bahwa hal ini telah dilakukan atau melanggar undang-undang atau melanggar KUHAP dan SOP KPK itu sendiri,” ujar Ahmad Rifai selaku kuasa hukum Pemohon pada sidang pendahuluan Rabu (9/9). (Panji Erawan/IR)