Mahkamah Konstitusi (MK) memutus tidak dapat menerima permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres) yang diajukan oleh 12 orang warga negara, Antonius Ratumakin, dkk. Putusan tersebut diucapkan oleh Ketua MK Arief Hidayat dengan didampingi tujuh Hakim Konstitusi lain.
“Mengadili, menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,” ujar Arief mengucapkan amar Putusan No. 69/PUU-XII/2014 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Selasa (20/10).
Menurut Mahkamah, setelah memeriksa dan mencermati permohonan, para Pemohon yang terdiri dari karyawan swasta dan pengacara tidak menyertakan bukti tertulis, berupa kartu tanda penduduk (KTP), Kartu Pemilih, Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), atau bukti lain yang dapat mendukung kualifikasi para Pemohon sebagai warga negara yang terdaftar sebagai pemilih dalam Pilpres. Atas dasar bahwa para Pemohon tidak menyertakan bukti yang cukup untuk membuktikan kedudukan hukumnya, maka Mahkamah menilai para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan, sehingga pokok permohonan tidak dipertimbangkan.
“Menurut Mahkamah, para Pemohon tidak menyertakan bukti yang cukup yang dapat mendukung pernyataannya atau uraiannya mengenai kedudukan hukum (legal standing). Dengan demikian, para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo,” ujar Hakim Konstitusi Aswanto membacakan pertimbangan Mahkamah.
Sebelumnya, para Pemohon menguji Pasal 141 sampai Pasal 156 UU Pilpres yang mengatur secara spesifik sistem dalam rekapitulasi suara pada Pilpres yang melalui empat jenjang, yakni kecamatan, kabupaten, provinsi, hingga nasional. Menurut para Pemohon, sistem berjenjang tersebut bertentangan dengan asas jujur dan adil serta mengakibatkan kecurangan sistemik. “Keseluruhan sistem tersebut memproduksi persoalan atau menjadi sebab problematika yang merugikan pemilih dan para kontestan karena adanya pencurian dan penggelembungan suara yang terjadi selama proses rekap di setiap jenjang rekap hingga empat sampai lima tingkatan,” ujar Kuasa Hukum Pemohon Arvid di Ruang Sidang MK, Jakarta, Selasa (2/9).
Penyalinan dokumen ke dalam sertifikat baru pada setiap tingkatan, dinilai Pemohon ikut memproduksi rekayasa secara berjenjang hingga empat sampai lima kali yang terjadi dengan berbagai modus dari salah catat oleh panitia hingga kesengajaan. Selain itu, proses berjenjang empat sampai lima tingkatan melibatkan logistik dan kepanitiaan yang besar, sehingga banyak menghabiskan tenaga waktu dan biaya. “Proses rekap berjenjang yang memakan waktu hingga sebulan juga membawa kerawanan dalam masyarakat, terutama berpengaruh negatif pada lingkungan bisnis,” imbuhnya.
Oleh karena itu, Pemohon meminta MK untuk menyatakan sistem rekapitulasi suara berjenjang pada Pasal 141 hingga 156 UU Pilpres bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. MK juga diminta menyatakan sistem rekapitulasi suara berjenjang pada Pasal 141 hingga 156 UU Pilpres tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya. (Lulu Hanifah/IR)