LENSAINDONESIA.COM: Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pilkada serentak 9 Desember 2015 mendatang sudah ditetapkan KPU (Komite Pemilihan Umum) sekitar 96.869.739 pemilih dari 295 kabupaten/kota.
Komite Independe Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia mencatat, dari jumlah itu masih terdapat data yang masih dalam perbaikan dan menunggu beberapa daerah yang juga belum merampungkan. Hasil kerja keras penyelenggara (KPU) dan pengawas (Bawaslu) ini harus diapresiasi.
“Namun demikian, DPT sebagai instrumen elementer dari penyelenggaraan pemilu, belajar dari pengalaman baik pada pilkada-pilkada sebelumnya maupun ketika Pileg-Pilpres 2014 lalu selalu mengalami beragam persoalan yang menyebabkan hak pilih pemilih hilang,” jelas Girindra Sandino, Anggota Caretaker KIPP Indonesia dalam keterngan persnya, Senin (19/10/2015).
Pilkada serentak kali ini, kata dia buka kartu, hanya berlangsung satu putaran sebagaimana diatur dalam pasal 109 ayat (1) UU No. 8/2015 tentang Pilkada yang menyebut “Pasangan Calon Gubernur dan Calon Gubernur yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih.”
Penyelenggaraan Pilkada kali ini, menurut Girindra, penyelesaian sengketa hasil Pilkada yang diperbolehkan untuk diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan syarat 0,5-2 persen sesuai jumlah penduduk. Sebuah margin error yang sangat tipis.
“Ketiga hal tersebut menurut pandangan kami KIPP Indonesia, menyumbang kerawanan tinggi yang perlu diantisipasi berbagai pihak,” katanya mengingatkan.
Hal yang perlu diantisipasi itu, jelas Girindra, sebagai berikut:
Pertama, perbaikan DPT jangan mengulang kasus Pileg 2014, dimana perbaikan DPT menyebabkan pengurangan jumlah pemilih, sementara disaat bersamaan surat suara sudah tercetak, bahkan terdistribusi ke berbagai daerah karena masih memakai data DPT lama. Berbagai kalangan menduga hal ini sebagai penyebab jual beli surat suara, penggelembungan suara, kasus coblos massal dan lain-lain.
“Semrautnya DPT pada Pileg 2014, bisa dilihat dari molornya rekap tingkat nasional oleh KPU RI pada saat itu dengan beragam masalah.” Kemudian, menurut Girindra, kerapkali relawan KIPP menemukan permainan data pemilih dengan menimbun surat undangan (C6), pada pilkada-pilkada lalu di tingkat kelurahan.
Adapun pada saat Pileg sering dijumpai kasus pemilih fiktif, pemilih ganda dan lain-lain. Belum lagi bagi pemilih yang belum terdaftar masih bisa memilih dengan KTP atau identitas lainnya, namun harus menunggu 1 jam sebelum ditutupnya pemungutan suara.
Banyak ditemui hilangnya hak pilih akibat ketidakpahaman tehnis petugas KPPS, maupun ketidaktahuan pemilih karena kurang sosialisasi. Jika kasus-kasus ini terjadi lagi, tidak tertutup kemungkinan konflik akan mengemuka diwilayah yang bermasalah dengan DPT.
Kedua, daerah rawan yang berpotensi menimbulkan konflik di pilkada kali ini diprediksi berlipat dibandingkan Pileg-Pilpres 2014 lalu, karena sifatnya yang lokalistik, serta ikatan emosi primordial yang tinggi antara pendukung dengan kandidat.
Terlebih saat ini, pemenang adalah suara terbanyak atau satu putaran, bukan dua putaran yang bisa meredam sementara panasnya suhu politik. Peserta Pilkada serentak akan melakukan habis-habisan dengan berbagai cara untuk menang dalam satu putaran. Khususnya daerah yang memiliki rekam jejak rusuh dalam pilkada serta yang memiliki 2 (dua) pasangan calon di 6 Provinsi untuk pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, dan 79 daerah di Pilkada tingkat Kabupaten/kota.
Ketiga, syarat 0,5-2 persen untuk dapat mengajukan permohonan perselisihan sengketa hasil pemilihan ke Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam UU No. 8/2015 tentang Pilkada dinilai sebagian kalangan sebagai bentuk kemunduran dalam penyelesaian sengketa hasil pilkada. Hal tersebut karena pasangan calon yang bertarung dalam pilkada akan melakukan apa saja untuk melewati batas 0,5-2 persen.
Artinya, lanjutnya, MK akan mengadili hasil Pilkada saja, bukan prosesnya, maka pelanggaran-pelanggaran yang bersifat Tersruktur, Sistematis dan Massif tidak akan diproses. Lantas bagaimana jika terjadi kesalahan atau ditemukan kecurangan (electoral fraud) terkait data pemilih yang selama ini menjadi masalah klasik dalam setiap penyelenggaraan pemilu/pilkada?
Maka penyelesaiannya ada ditahapan Pilkada tidak mungkin lagi pasca Pilkada, Bawaslu dan jajarannya harus sangat jeli dalam hal ini. Pun saat ini sudah terbentuk Sentra Gakumdu (Penegakkan Hukum Terpadu), harapan untuk keadilan bagi pemilih, karena biasanya hilangnya hak pilih adalah urusan pidana.
Di samping itu, tidak tertutup kemungkinan “memakan” korban dari pihak penyelenggara maupun pengawas, oleh karena pihak yang tidak siap kalah tidak akan berdiam diri, apalagi kalah tipis. Pasal 178 UU No. 8/2015 tentang Pilkada menegaskan “setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya, dipidana dgn pidana penjara paling singkat 12 bulan dan paling lama 24 bulan dan denda paling sedikit Rp. 12 juta, paling banyak Rp. 24 juta”.
Untuk itu, menurut Girindra, jika sudah penghitungan suara kelak, apalagi sudah ada hasil sementara, walau dari lembaga survey, bagi daerah-daerah yang terdeteksi ada pasangan calon yang terlihat kalah tipis, diangka nol koma misalnya, dan tidak memenuhi syarat untuk mengajukan gugatan yakni 0,5-2 persen, di sarankan aparat keamanan dikonsentrasikan di daerah tersebut.
“Pemetaan daerah rawan konflik oleh aparat keamanan selama ini akan meleset, apabila hal ini luput dari perhatian,” demikian Girindra, mengakhiri.
Sumber: http://www.lensaindonesia.com/2015/10/19/kipp-pemetaan-aparat-soal-daerah-rawan-konflik-pilkada-bisa-meleset.html/2