Adanya ancaman pidana mati tak membuat jera para pengedar narkoba, apalagi bila tak ada hukum yang mengatur larangan peredaran narkoba, Indonesia bisa dipastikan terancam mengalami lost generation (kehilangan generasi).
Demikian ringkasan pendapat yang dikemukakan oleh Kepala Pelaksana Harian Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjend. I Made Mangku Pastika sebagai Pihak Terkait Langsung pada sidang judicial review UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (UU Narkotika) terhadap UUD 1945, Kamis 15 Maret 2007 di ruang sidang MK. Sidang yang dimulai pukul 10.00 WIB itu mengagendakan mendengarkan keterangan Pemerintah, DPR, Komnas HAM, dan Badan Narkotika Nasional (BNN).
Keterangan Komjend. Pastika di atas didasarkan pada berbagai data, antara lain, dalam lima tahun terakhir, setiap tahunnya terjadi peningkatan perkara narkoba sebesar 34,4 %. Per tahun, 15.000 orang di Indonesia mati karena narkoba. Artinya, 41 orang setiap hari mati baik karena overdosis ataupun HIV/AIDS akibat narkoba. Ketika artis Alda Risma mati karena narkoba, pada hari itu juga, 40 orang lainnya juga mati karena hal yang sama, ungkap Pastika.
Senada dengan Pastika, Menteri Hukum dan HAM RI Dr. Hamid Awaludin menyatakan di Indonesia terdapat sekitar 3,2 juta pengguna narkoba. Secara nasional, dari total 111.000 tahanan, 30 % karena kasus narkoba. Perkara narkoba telah menembus batas gender, kelas ekonomi, bahkan usia, jelas Hamid.
Terkait dengan uji materi pasal-pasal hukuman mati dalam UU Narkotika, Jaksa Agung RI Abdul Rahman Saleh, S.H., M.H. menyatakan bahwa pemerintah menolak secara tegas permohonan tersebut karena seluruh pemidanaan, pada dasarnya, melanggar hak asasi manusia. Namun, pelanggaran ini sah karena sesuai dengan hukum yang berlaku, paparnya.
Menyoal hak untuk hidup sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable right) yang tercantum dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, Jaksa Agung menyatakan bahwa ketentuan itu sebenarnya dibatasi oleh berlakunya Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, yang mana, dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang.
Sedangkan menjawab pernyataan penolakan pemerintah atas keterlibatan warganegara asing dalam mengajukan judicial review, Todung Mulya Lubis, Kuasa Hukum warganegara Australia Myuran Sukumaran dan Andrew Chan, mengatakan bahwa dalam konteks asas universal HAM, hal itu dimungkinkan sebagaimana yang terjadi di Australia dan Amerika. Contoh, di Amerika, Hamdan, seorang warganegara Yaman yang ditahan di penjara Guantanamo pernah men-challenge pemerintah Amerika melalui Mahkamah Agung karena telah mencabut hak hukumnya, jelas Todung.
Latar Belakang
Persidangan ini memeriksa dua perkara yang sama-sama mengajukan judicial review UU Narkotika, yaitu perkara No. 2/PUU-V/2007 yang diajukan oleh empat orang, yaitu Edith Yunita Sianturi dan Rani Andriani (Melisa Aprilia), keduanya sedang menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan khusus wanita, Tangerang, serta Myuran Sukumaran dan Andrew Chan, keduanya warganegara Australia yang sedang menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan Krobokan, Kuta, Bali, yang diwakili Kuasa Hukumnya, Dr. Todung Mulya Lubis, S.H., LL.M., Ir. Alexander Lay, S.H., LL.M., dan Arief Susijamto Wirjohoetomo, S.H., M.H. Para Pemohon merupakan terpidana mati yang telah menjalani proses persidangan mulai dari tingkat Pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung dalam perkara tindak pidana yang diatur dalam UU Narkotika di wilayah hukum Negara Republik Indonesia.
Sedangkan perkara No. 3/PUU-V/2007 diajukan oleh Scott Anthony Rush, warga negara Australia diwakili Kuasa Hukumnya Denny Kailimang, S.H., M.H. dkk. Pemohon tersebut telah dijatuhi vonis pidana mati oleh Mahkamah Agung dan kini menempati Lembaga Pemasyarakatan Krobokan, Bali.
Terhadap kedua perkara tersebut, MK telah menetapkan dengan Ketetapan No. 2-3/PUU-V/2007 tanggal 21 Februari 2007 untuk menggabungkan kedua perkara itu mengingat materi yang diajukan sama.
Putusan hukuman mati bagi para Pemohon didasarkan pada pasal-pasal ancaman pidana mati dalam UU Narkotika, yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum mengikat (in kracht van gewijsde). Namun terhadap diri para Pemohon belum dilaksanakan hukuman mati. Dalam penjelasan permohonan, para Pemohon menyatakan bahwa putusan hukuman mati tersebut jelas sangat merugikan kepentingan dan hak konstitusional para Pemohon untuk hidup, sebagaimana dijamin dan dilindungi oleh UUD 1945.
Berdasarkan saran Ketua Panel Hakim Prof. H. A. Mukthie Fadjar, S.H., M.S., dalam perbaikan permohonannya, para Pemohon dalam perkara No. 2/PUU-V/2007 meminta Majelis Hakim Konstitusi menyatakan, pertama, Pasal 51 Ayat (1) huruf a UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 dan menyatakan pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya.
Kedua, menyatakan Pasal 80 Ayat (1) huruf a, Pasal 80 ayat (2) huruf a, Pasal 80 ayat (3) huruf a, Pasal 81 ayat (3) huruf a, Pasal 82 ayat (1) huruf a, Pasal 82 ayat (2) huruf a, dan Pasal 82 ayat (3) huruf a UU Narkotika sepanjang menyangkut pidana mati bertentangan dengan Pasal 28A, Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945, serta menyatakan pasal-pasal tersebut sepanjang menyangkut pidana mati tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya.
Sedangkan menanggapi usulan Hakim Anggota Panel Achmad Roestandi, S.H., Pemohon dalam perkara No. 3/PUU-V/2007 dalam petitum perbaikan permohonannya meminta Majelis Hakim Konstitusi mengabulkan seluruh permohonan Pemohon dan menyatakan bahwa Pasal 80 ayat (1) huruf a, Pasal 80 ayat (2) huruf a, Pasal 80 ayat (3) huruf a, Pasal 81 ayat (3) huruf a, Pasal 82 ayat (1) huruf a, Pasal 82 ayat (2) huruf a, Pasal 82 ayat (3) huruf a, sepanjang menyangkut kata-kata:
pidana mati atau
bertentangan dengan Pasal 28A dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 serta menyatakan pasal-pasal tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. (Wiwik Budi Wasito)