indopos.co.id – Presiden Jokowi rencananya akan meresmikan program Bela Negara, hari ini (Senin, 19/10). Namun program yang diwacanakan oleh Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu ini dinilai tak sesuai dengan amanat dari UUD 1945.
Pasalnya, menurut anggota Komisi I DPR RI Tantowi Yahya, untuk melakukan pembelaan terhadap negara diperlukan adanya undang-undang yang terlebih dahulu mengatur syarat-syaratnya. Sebagaimana yang tertera jelas di pasal 30 ayat 1 dan 2 UUD 1945. “Sebelum program bela negara akan diresmikan, maka pemerintah melalui Menhan Ryamizard Ryacudu harus terlebih dahulu mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang bela negara ke DPR. Sebagaimana hal ini amanat yang diatur di dalam konstitusi UUD 45,” kata Tantowi saat dihubungi, kemarin (18/10).
Politisi Partai Golkar ini mengaku, Menhan sudah berkonsultasi dengan pihaknya soal program ini beberapa waktu lalu. Namun, saat itu Menhan tidak menjelaskan secara detail. Sebab itu, pekan ini Komisi I DPR menjadwalkan akan memanggil Menhan untuk membahas program ini secara detail sekaligus meminta pemerintah mengajukan RUU soal bela negara. ”Idealnya begitu (pemerintahan ajukan RUU baru). Payung hukum itu harus ada agar jelas mekanisme dan dukungan anggarannya,” ujarnya.
Makanya, lanjut Tantowi, Komisi I DPR akan undang Menhan untuk mengetahui konsep bela negara sebelum dibuka oleh Presiden. ”Sehingga rencana launching (peresmian) yang akan dilakukan oleh Presiden Jokowi dalam Senin besok ini saya yakini bukanlah bela negara yang sesuai diamanatkan oleh UUD 45,” pungkas mantan presenter kondang ini.
Senada, anggota Komisi I DPR, Bachtiar Aly menyatakan, program bela negara ini perlu persiapan yang matang. Tidak hanya UU maupun fasilitas penunjangnya, tetapi harus juga dipersiapan mental dari warga negara Indonesia itu sendiri. “Kita punya kesadaran lebih bahwa bela negara ini perlu, kita positif thinking saja. Karena indoktrinasi sudah tidak tepat lagi, kalau tidak disiplin terus bisa chaos,” kata Bachtiar Aly.
Menurutnya, semua pihak tidak perlu apriori dengan bela negara, tapi yang harus dibedakan bahwa bela negara ini bukan seperti wajib militer (wamil) yang terdapat konsekuensi lebih serius apabila tidak mematuhinya. Melainkan, bela negara ini lebih kepada memberikan keterampilan kepada masyarakat dalam menghadapi negara keadaan darurat. Seperti keterampilan baris berbaris, membela diri, lebih kepada kemampuan individu atau personal agar lebih disiplin. “Jadi bukan kalau tidak ikut dapat sanksi keras, tapi mendidik kesadaran bernegara, disiplin dan tanggung jawab, berlatih bersama-sama, sehingga punya solidaritas nasional,” jelasnya.
Sebab itu, politisi Partai Nasional Demokrat (NasDem) ini berpandangan program ini perlu dikaji secara mendalam dengan cara menerapkan program itu saat ini sebagai bentuk uji coba. “Tidak ada salahnya wacana dibuka untuk suatu diskusi. WNI harus diajak untuk ikut disitu, sehingga tidak top down,” katanya.
Sebelumnya, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengkritik soal pendanaan serta aturan lainnya yang akan menunjang program Bela Negara. Fahri mengatakan jangan sampai nanti dana untuk program itu tidak jelas asalnya. Untuk itu, dia memita semua harus dibahas bersama dengan DPR. “Jangan asal comot dari APBN. Itu harus dibahas bersama,” terang Fahri beberapa waktu lalu (13/10) di Gedung DPR.
Diketahui, Kemenhan berencana membentuk kader bela negara sebanyak 100 juta orang dalam 10 tahun, yang berarti 10 juta orang per 1 tahun atau 833.000 orang per bulan. Jumlah ini sangat fantastis dibandingkan dengan sarana pelatihan yang dimiliki oleh Badiklat (Badan Pendidikan dan Latihan) Kemenhan yang hanya mampu menampung 600 orang saja. (dil)
Sumber: http://www.indopos.co.id/2015/10/program-bela-negara-tidak-sesuai-dengan-amanat-konstitusi.html