SEMARANG – Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat menyatakan peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang dijadikan undang-undang memiliki banyak kelemahan. Proses pembuatan peraturan tersebut tidak melewati kajian mendalam, terutama dari sisi ilmiah. Demikian halnya dengan Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang. ”Hingga kini Undang-Undang tentang Pilkada itu mengalami 40 lebih judicial review (uji materi). Mulai dari masalah dinasti politik, mantan terpidana ikut pilkada, hingga calon tunggal,” kata Arief, saat menjadi pembicara kunci dalam diskusi kelompok terarah (FGD) ”Proyeksi Konstitusional Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilihan Kepala Daerah” di Dekanat Fakultas Hukum Unnes Kota Semarang, Selasa (13/10).
Diskusi sesi pertama menghadirkan pembicara Komisioner KPU Ida Budhiati, dosen Fakultas Hukum Unnes Martitah, dosen Fakultas Hukum Undip Lita Tyesta, peneliti Mahkamah Konstitusi Fajar Laksono, dan dimoderatori Wapemred Suara MerdekaAgus Toto Widyatmoko. Putusan Lebih Cepat Arief menyebut sejumlah aturan yang sebenarnya tidak diperlukan, seperti pasal pembatasan hak konstitusional warga negara karena masih satu keluarga dengan petahana. Kemudian pasal mengenai larangan maju bagi mantan terpidana, kecuali jika dipenjara dan hak politiknya dicabut. Yang terbaru persoalan tentang Pilkada dengan calon tunggal. FGD dilatarbelakangi UU Nomor 8 tahun 2015 yang mengamanatkan pembentukan Badan Peradilan Khusus Pilkada. Sebelum badan tersebut terbentuk, paling lambat 2027, kewenangan pemutusan sengketa Pilkada masih di tangan MK. Komisioner KPU RI, Ida Budhiarti, mengemukakan Badan Peradilan Khusus Pilkada idealnya dibentuk di tingkat provinsi. Pemutusan perkara akan lebih cepat dibandingkan di tingkat pusat karena jumlah perkara relatif terbatas. Alasan kedua, Badan Peradilan Khusus Pilkada di tingkat provinsi relatif jauh dari kepentingan yang ada di kabupaten/kota. Termasuk kedekatan emosional antara hakim dengan pasangan calon atau pemilih. ”Badan peradilan tak perlu di tingkat bawah (kabupaten/kota). Tapi sebelum membahas soal sengketa, lebih tepat jika ditata dulu sistem pemiilu dan jadwalnya. Kalau dibalik, nanti tidak nyambung. Akan muncul persoalanpersoalan baru,” kata Budhiarti. Pada FGD sesi kedua, Ketua Bawaslu Jateng Abhan Misbah mengungkapkan adanya kemungkinan perubahan sistem Pilkada, jika pelaksanaan Pilkada serentak pada 9 Desember mendatang dinilai gagal. Kelompok yang semula mengusulkan Pilkada tertutup bisa saja mengusung kembali wacana tersebut. ”Pilkada serentak (9 Desember) saya sebut eksperimentatif,' katanya. (H81,H74-94)
Sumber: http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/uu-pilkada-40-kali-alami-uji-materi/