Kamis 9 Juli 2015, melalui ketok palu nyaring Mahkamah Konstitusi (MK) telah membuat suatu putusan No. 42/PUU-XIII/2015 yang menyatakan Pasal 7 huruf g UU No. 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota bertentangan secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Hal ini menandakan bahwa MK mengamini mantan narapidana (mantan napi) untuk dapat mengikuti pemilihan kepala daerah; Gubernur, Bupati dan Walikota dengan syarat calon mantan narapidana tersebut secara terbuka dan jujur menyampaikan kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan narapidana (notoir feiten).
Dengan kata lain jika penyampaian itu dilakukan, maka seorang mantan narapidana yang telah selesai menjalankan masa hukumannya, yang bersangkutan dapat langsung mencalonkan diri dalam jabatan publik atau jabatan politik yang pengisiannya melalui pemilihan (elected officials) seperti Gubernur, Bupati dan Walikota.
Lupa Beretika
Bagi saya, putusan MK tersebut seakan-akan memberikan angin segar bagi para mantan narapidana untuk mencoba peruntungannya kembali maju sebagai calon kepala daerah. Bukan karena putusan MK yang memberikan legitimasi bagi mantan napi untuk mencalonkan kembali, tapi dari sisi nilai-nilai etika yang sering dilupakan dan bertentangan dengan hati nurani mayoritas masyarakat.
Edward Moore Kennedy seorang senator senior Amerika Serikat yang juga adik bungsu dari mantan Presiden AS John F. Kennedy konon tidak pernah lolos dari pemilihan calon presiden Amerika Serikat hanya karena orang Amerika menilai dia tidak punya tanggung jawab. Alkisah, di suatu hari saat mobil yang ditumpangi bersama sekretarisnya jatuh ke dalam sebuah danau, dia tidak berusaha menolong sekretarisnya yang tidak pandai berenang sehingga sekretaris itu mati tenggelam.
Di sisi lain, rupanya kita perlu banyak belajar dari bangsa Jepang. Pengunduran diri sebagai bentuk dari rasa malu bagi pejabat publik yang tidak menjalankan amanahnya dengan baik bukanlah sesuatu yang tabu. Pengunduran diri dianggap sebagai suatu bentuk ksatria politik dan tanggung jawab moral yang dimiliki dalam karakter berpolitik negeri Sakura.
Kita tentu sangat khawatir bila mantan napi kembali memimpin sebagai kepala daerah yang pada saat bersamaan harus mengkampanyekan gerakan anti korupsi di daerahnya padahal dia adalah mantan napi korupsi. Tentu buntutnya ada perasaan konflik batin antara yang dia kampanyekan dengan perbuatan korupsi yang pernah dilakukannya.
Pelajaran yang dapat dipetik dari secuil cerita di atas, menggambarkan bahwa etika memiliki kedudukan paling tinggi sebagai barometer mencari pemimpin dalam Pilkada Serentak akhir tahun 2015 ini. Mantan narapidana sejatinya telah dianggap melakukan pelanggaran beretika dalam kehidupan sehingga dipandang tidak patut untuk mencalonkan kembali meskipun telah menjalani masa hukumannya.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) No. VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa sebenarnya telah mewanti-wanti bagi penyelenggara negara agar memiliki rasa kepedulian tinggi dalam memberikan pelayanan kepada publik, siap mundur apabila merasa dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai ataupun dianggap tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa, dan negara.
Moral di Atas Hukum
Subtansi putusan MK tersebut sekilas tidak bermasalah sebagaimana pertimbangan-pertimbangan yuridis yang dikemukakan oleh Yang Mulia Majelis Hakim MK. Namun demikian, putusan MK menjadi semacam alarm bagi proses demokratisasi di Indonesia. Mengapa demikian, Pertama karena putusan tersebut tidak mengakomodir sisi-sisi lain di luar nonhukum. Bukankah ada moralitas di atas hukum. Bukankah ada norma kepatutan, norma kesopanan, norma kebiasaan, dan norma agama yang menjadi penjaga dari norma hukum. Norma hukum memang norma yang dapat dipaksakan oleh penguasa atau pemerintah apabila dilanggar. Namun norma tersebut identik dengan moralitas di mana sesungguhnya esensi hukum adalah terkandungnya moralitas (quid leges sine moribus-hukum punya kekuatan jika dijiwai oleh moralitas).
Kedua, dengan kondisi sosial yang sedang menjangkit masyarakat seperti politik uang (money politics) dan kualitas pendidikan masyarakat yang masih rendah, putusan tersebut justru bertendensi semakin melegitimasi sikap permisif masyarakat terhadap kejahatan dan yang lebih parah lagi budaya malu berbuat salah dan mengakui kesalahan yang pernah diperbuat telah hilang tanpa jejak dari bumi pertiwi ini.
Namun di atas itu semua, dalam menyingkapi kondisi tersebut, rakyat tidak boleh dibebankan sepenuhnya. Sudah saatnya, partai politik memiliki tanggung jawab juga sebagai penyaring utama calon-calon kepala daerah. Partai politik merupakan “pabrik” dari calon pemimpin baik lokal maupun nasional. Politisi yang direkrut duduk sebagai pejabat publik mengemban tugas memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyat, pembuat kebijakan/aturan perundangan dan mengawasi jalannya pemerintahan. Sudah semestinya, partai politik mencalonkan calon pemimpin yang berintegritas dan profesional dengan pola rekrutmen yang baik.
Sayangnya, partai politik masih terkungkung dalam alam pragmatisme yang hanya mementingkan popularitas calon semata dengan tujuan asal menang dengan mengorbankan sendi norma kepatutan. Selama ini ada tiga indikator proses rekrutmen yang dilakukan partai politik untuk menjaring calon kepala daerah, yaitu: popularitas, elektabilitas dan akseptabilitas. Ketiga faktor tersebut terkadang seringkali melupakan faktor kejujuran, moralitas, integritas, track record yang bersih, mengabdi pada kepentingan masyarakat dan yang lebih penting lagi adalah memiliki sifat kenegarawanan.
Jika sikap pragmatisme tersebut masih dilakukan, maka sesungguhnya parpol tidak memberikan pendidikan politik yang baik kepada rakyat. Partai politik yang tetap mempertahankan mantan napi untuk maju sebagai calon kepala daerah dalam Pilkada berarti komitmen pemberantasan korupsi dipertanyakan. Stigmanya korupsi belum dipandang sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) dan penyakit serius bangsa ini.
Oleh karena itu, parpol harus menciptakan kompetisi yang sehat, sehingga mampu merekrut dan menyeleksi calon pemimpin yang berkualitas dan berintegritas. Partai politik harus mencalonkan calon pemimpin yang berintegritas dan profesional dengan pola rekrutmen yang baik. Proses tersebut harus berjalan berkesinambungan agar stock calon pemimpin yang baik tidak habis.
Oleh:
Akbar Faizal
Anggota Komisi III DPR RI
Sumber: http://makassar.tribunnews.com/2015/10/15/menantang-moralitas-pemimpin