Tiga orang petani kebun yang bertempat tinggal di wilayah perkebunan dan memiliki lahan di wilayah perkebunan, yaitu M. Nur, AJ. Dahlan, dan Theresia Yes menggugat Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (UU Perkebunan). Pada sidang perdana perkara No. 122/PUU-XIII/2015 yang digelar Kamis (15/10), Andi Muttaqien selaku kuasa hukum para Pemohon menyampaikan pokok-pokok permohonan. Menurutnya, para Pemohon melayangkan gugatan karena berpotensi dikriminalkan atas dasar Pasal 107 huruf a, huruf c dan huruf d UU Perkebunan.
Andi menjelaskan, masing-masing Pemohon adalah petani kebun yang tengah berkonflik dengan perusahaan perkebunan di daerah tempat tinggalnya masing-masing. Bahkan, Pemohon I yaitu M. Nur justru telah diperkarakan. “Dua orang Pemohon, yaitu Pemohon II dan Pemohon IIII itu berpotensi akan dikriminalkan dengan Undang-Undang Perkebunan. Sementara Pemohon pertama kami itu bahkan sudah secara faktual saat ini sedang menjalani persidangan karena dianggap menganggu usaha perkebunan, “ ujar Andi.
Pasal 107 UU Perkebunan menyatakan,
Setiap orang secara tidak sah yang:
- a. mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai Lahan Perkebunan;
...
c. melakukan penebangan tanaman dalam kawasan Perkebunan; atau
d. memanen dan/atau memungut hasil Perkebunan.
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp. 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
Ketentuan tersebut menurut para Pemohon telah bertentangan dengan Konstitusi karena melanggar hak-hak masyarakat adat dan melanggar ketentuan hak atas rasa aman bagi masyarakat. “Jadi sebelum munculnya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 ini, Undang-Undang Perkebunan sebelumnya juga mengatur mengenai pasal kriminal atau pasal-pasal yang rentan biasa digunakan untuk menjerat perlawanan petani, masyarakat adat, ketika dia berhadapan dengan perusahaan perkebunan. Nah kami melihat, pertama, tentu pasal ini kami anggap bertentangan dengan Konstitusi karena dia melanggar hak-hak masyarakat adat,” papar Andi.
Tidak hanya itu, dalam permohonannya, Pemohon menggugat sejumlah aturan lain dalam Undang-Undang Perkebunan, yaitu Pasal 11 Ayat (2) yang mengatur tentang peralihan status alas hak kawasan hutan negara kepada pekebun dan Pasal 12 Ayat (1) yang mengatur tentang musyawarah untuk persetujuan penyerahan tanah hak ulayat. Para Pemohon juga menggugat Pasal 55 huruf a, huruf c, dan huruf d yang antara lain mengatur larangan kepada setiap orang yang tidak sah untuk mengerjakan, menggunakan, menduduki dan/atau menguasai lahan perkebunan.
Di akhir pemaparan pokok permohonan, para Pemohon meminta kepada Majelis Hakim agar Pasal 11 ayat (2), Pasal 55 huruf a, huruf c dan huruf d, serta Pasal 107 huruf a, huruf c dan huruf d UU Perkebunan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Kemudian untuk Pasal 12 ayat (1) UU Perkebunan, para Pemohon meminta agar pasal tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, sepanjang tidak dimaknai “musyawarah yang dilakukan antara pelaku usaha perkebunan dengan masyarakat hukum adat dilakukan dengan posisi setara dan memberikan sepenuhnya hak masyarakat hukum adat untuk menolak penyerahan jika tidak terdapat kesepakatan”.
Menanggapi permohonan, Ketua MK Arief Hidayat selaku pimpinan sidang kali ini menyarankan agar Pemohon mempertajam argumentasi yang digunakan, terutama terkait gugatan tentang pasal pemidanaan yang sebetulnya pernah diputus oleh MK. “Dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 itu juga ada itu ya. Dalam putusan itu, Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa tanah adat itu bukan tanah negara sehingga pemiliknya adalah masyarakat hukum adat. Dari sini dapat dilihat apakah Undang-Undang Perkebunan yang diuji itu spiritnya sudah segaris dengan putusan Mahkamah Konstitusi apa belum. Coba nanti dielaborasi di situ,” saran Arief yang didampingi Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Aswanto.
Usai menyampaikan saran, Arief mengingatkan Pemohon untuk menyerahkan perbaikan permohonan paling lambat pada tanggal 28 Oktober 2015, pukul 10.00 WIB. (Yusti Nurul Agustin/IR)