Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/Duda Pegawai (UU Pensiun Pegawai). Uji materi perkara nomor 121/PUU-XIII/2015 tersebut dimohonkan oleh Aklan, pensiunan Pegawai Negeri Sipil (PNS) PT. Pegadaian.
Pemohon yang mengaku telah mengabdi selama 36 tahun tersebut menyatakan tidak pernah mendapatkan hak pensiunnya sejak 1991 hingga 2004. Padahal, Ia telah melaksanakan seluruh kewajibannya sebagai PNS, termasuk membayar tabungan dan asuransi pegawai negeri (Taspen) sebesar 10 persen gaji.
Atas dasar tersebut, Pemohon menilai apa yang dialaminya bertentangan dengan ketentuan Pasal 9 UU Pensiun Pegawai yang mengatur tentang hak pensiun pegawai. Selain itu, Kementerian Keuangan pun telah mengeluarkan surat keputusan yang menyatakan uang pensiun wajib dibayarkan kepada Pemohon selaku mantan pegawai Pegadaian.
“Itu bertolak belakang dengan adanya Pasal 9 (UU Pensiun Pegawai). Itu tadi kan hak-hak seorang PNS yang telah memenuhi kewajibannya, itu tadi sudah dilaksanakan semuanya oleh Bapak Aklan selama 36 tahun, termasuk menjalankan pemotongan gaji 10% untuk masuk ke Taspen, tapi ternyata tidak dinikmati. Lah, hak-hak asasi manusianya ini tadi yang akan bertolak belakang,” ujar kuasa hukum Pemohon Muhammad Baehaqi Adam di Ruang Sidang MK, Jakarta, Kamis (15/10).
Kendati demikian, Pemohon mengakui tidak ada yang salah dengan Pasal 9 UU Pensiun Pegawai. Pemohon mempersoalkan implementasi ketentuan tersebut yang tidak dilaksanakan oleh Pegadaian sehingga hak-hak pensiunnya tidak dibayarkan.
Oleh karena itu, Pemohon meminta MK membatalkan Surat Keputusan Direksi Perum Pegadaian Nomor KP 144/PBUP/V/1992 tentang pemberhentian dengan hormat sebagai pegawai Perum Pegadaian dengan hak pensiun karena telah mencapai batas usia pensiun. Selain itu, Pemohon meminta MK memerintahkan Pegadaian membayarkan hak pensiunnya.
Menanggapi Permohonan tersebut, Majelis Hakim yang diketuai Wakil Ketua MK Anwar Usman didampingi Hakim Konstitusi Aswanto dan Hakim Konstitusi Suhartoyo meminta Pemohon menguraikan kerugian konstitusional yang dialami dengan adanya ketentuan UU Pensiun Pegawai. Sebab, Pemohon hanya menguraikan kerugian ekonomi yang dialami.
“Tidak dibayarkan tunjangan-tunjangan dan lain sebagainya. Itu bukan kerugian konstitusional, tapi itu adalah kerugian materiil yang mungkin bisa Bapak juga nanti kaitkan, sebenarnya kerugian materiil itu muncul karena ada norma yang bertentangan. Sehingga tetap bisa di-judge sebagai kerugian konstitusional. Nah, itu yang Bapak harus urai,” ujar Aswanto.
Selain itu, Majelis Hakim menekankan, MK adalah lembaga yang mengadili pertentangan norma Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Apabila Pemohon ingin mengajukan pembatalan SK Direksi, maka Pemohon harus memohonkan ke Pengadilan Tata Usha Negara. (Lulu Hanifah/IR)