BANDUNG – Rencana Kementerian Pertahanan membentuk kader bela negara menuai kritik. Tanpa legalitas dan infrastruktur penyokong, program ini dinilai dipaksakan.
Wacana bela negara bagi warga berusia di bawah 50 tahun ini dilontarkan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, Senin pekan ini. Sebanyak 100 juta warga ditarget menjadi kader. ”Penekanan akan menargetkan 100 juta peserta dalam waktu 10 tahun, membuat publik merasa bahwa pemerintah nampak tidak paham substansi peruntukan dari bela negara ini,” kata Ketua Pusat Politik dan Keamanan (PSPK) Universitas Padjadjaran Bandung, Muradi, di Bandung, kemarin.
Rencana tersebut, kata dia, cenderung bombastis dan menakut-nakuti publik, terutama penekanan agar angkat kaki dari NKRI bagi penolaknya. Karena itu, Muradi menyarankan agar pemerintah memperjuangkan RUU Komponen Cadangan dan RUU Bela Negara.
”Jika hal tersebut tidak dilakukan, maka ada kesan pemerintah mengambil jalan pintas dalam mengambil kebijakan tersebut tanpa menunggu kedua RUU itu diundangkan.” Belum lagi, imbuh Muradi, sokongan anggaran. Dengan target 100 juta orang dalam tempo 10 tahun, atau dalam satu bulan setidaknya akan dilatih sekitar 850 ribu orang, langkah ini membutuhkan anggaran yang luar biasa besar di tengah kebijakan negara dalam memodernisasi postur pertahanan dan alutsista.
Terpisah, Direktur Eksekutif Imparsial Poengky Indarti, di Jakarta, mengatakan, meski Menhan menyatakan bela negara bukan wajib militer, tetapi substansi bela negara bernuansa wajib militer. Menurut dia, hal itu terlihat dari pernyataan Menhan yang menyatakan warga negara yang tidak ikut bela negara sebaiknya angkat kaki dari Indonesia.
”Itu bernuansa wajib militer. Pada periode pemerintahan yang lalu, pemerintah juga mengajukan konsep komponen cadangan yang secara substansi merupakan wajib militer sebagaimana tertuang dalam Rancangan Undangundang tentang Komponen Cadangan. Kami menilai bahwa jika pemerintah ingin membentuk bela negara dengan tujuan menciptakan rasa nasionalisme maka seharusnya yang melakukan itu adalah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,” kata Poengky kepada Suara Merdeka, kemarin.
Menurut dia, ancaman hengkang bagi warga yang menolak bertentangan dengan HAM, khususnya bertentangan dengan resolusi PBB terkait prinsip conscientious objection yang menyatakan setiap warga negara, yang atas dasar keyakinan dan agamanya, berhak menolak dalam wajib militer karena menolak penyelesaian konflik dengan senjata. Bahkan Komisi Tinggi HAM PBB juga telah mengeluarkan resolusi mengenai penolakan terhadap wajib militer oleh seseorang melalui Resolusi 1998/77. Dengan dimasukkannya bela negara ke dalam sistem pendidikan, kata dia, hal itu tidak akan menimbulkan beban baru bagi anggaran negara khususnya anggaran pertahanan.
”Sebagaimana kita ketahui hingga kini Kemenhan dan TNI masih kekurangan anggaran dalam pengadaan alutsista maupun dalam peningkatan kesejahteraan prajurit. Untuk pengadaan alutsista saja Indonesia baru bisa menyelesaikan program minimum essential force pada 2024,” ungkapnya.
Sementara itu, Ketua Badan Pengurus SETARA Institute Hendardi, mengatakan, rencana program bela negara adalah gagasan irasional dan tidak kontekstual dengan kebutuhan berbangsa dan bernegara. Menurut Hendardi, selain secara finansial tidak akan mampu tercukupi oleh APBN, rencana itu juga keluar dari mandat konstitusi yang mendorong pendidikan bela negara diintegrasikan dalam setiap pendidikan warga.
Persetujuan Rakyat
Adapun, pakar hukum tata negara Andi Irmanputra Sidin menyatakan, program bela negara dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Pertahanan Negara. Hal itu dikarenakan konsep bela negara yang dirancang oleh Kementerian Pertahanan terkait dengan pertahanan negara.
”Segala konsep pertahanan negara cq (dalam hal ini) bela negara, apa lagi yang dilaksanakan oleh menteri pertahanan, harus melalui proses persetujuan langsung rakyat,” kata Irman dalam pesan singkatnya. Menurutnya, urusan bela negara bukan murni urusan pemerintahan yang menjadi urusan otonom Kemenhan melainkan urusan negara. Sehingga, UU Pertahanan Negara tidak banyak memberikan otoritas kepada pemerintah untuk mengatur lebih lanjut konsep pertahanan negara, dalam hal ini bela negara.
”Bahkan pendidikan kewarganegaraan dalam konsep pertahanan negara, harus melalui persetujuan rakyat dalam bentuk undang-undang. Jadi, konsep bela negara ini bukan urusan pemerintah semata,” ujarnya. Pengamat politik dari Universitas Indonesia, Muhammad Budyatna, menegaskan, keinginan pemerintah melalui Kemenhan untuk melaksanakan program bela negara merupakan hal yang aneh. ”Saat ini, kewajiban bela negara masih belum diperlukan.
Sebab, kewajiban itu hanya diperlukan kalau ada musuh dari luar,” ucapnya. Saat ini, kata dia, musuh nomor satu di Indonesia berasal dari dalam, yaitu korupsi. ”Pemerintah berantas saja dulu korupsi yang menjadi kewajibannya dalam melaksanakan good governance,” kata dia. Dalam kesempatan itu, Budyatna meminta Menhan mempelajari benar masyarakat Indonesia yang mencintai tanah airnya.
Sehingga, tidak perlu diwajibkan pun masyarakat tentu akan membela negara. ”Dulu, rakyat tanpa dilatih militer semua ikut membela negara. Apakah dia lupa,” tandasnya. Di sisi lain, Ketua MPR Zulkifli Hasan mendukung penuh rencana program bela negara. Menurut Zulkifli, negara tetangga seperti Singapura dan negara lain sudah menerapkan program ini.
”Apa yang disampaikan Menteri Pertahanan untuk memberikan pelatihan bela negara saya mendukung penuh. Setuju saya, karena kesadaran bela negara itu penting,” kata Zulkifli di kantornya di Gedung MPR/DPR/DPD Senayan, Jakarta. Zulkifli menuturkan program Kemenhan itu juga sinkron dengan sosialisasi empat pilar negara yang menjadi program unggulan MPR dan dilakukan secara masif dalam bentuk seminar dan diskusi-diskusi.
”Semakin banyak semakin bagus, tak mungkin sosialisasi hanya MPR, bela negara itu bisa juga nanti salah satu materinya ada empat pilar. Akan bagus sekali dan ada penguatan di dalamnya,” kata Ketua Umum PAN ini. Sementara itu, mantan Menteri Pertahanan Mahfud Md juga mengaku setuju dengan gagasan ini. Menurutnya, secara substansi rencana itu penting. Pasalnya, dalam konstitusi juga disebut setiap warga negara berhak dan wajib melakukan bela negara.
”Salah satu implementasinya itu. Bela negara ini seperti penataran tapi isinya soal ketahanan dan pertahanan bukan hanya ideologi,” kata Mahfud usai bertemu Ketua MPR. Saat menjabat Menteri Pertahanan, dirinya membuat pohon ilmiah, yang terdiri atas 13 cabang UU, termasuk bela negara. ”Jadi ini bukan gagasan yang tidak benar. Ini memang gagasan yang diperlukan didasarkan kebutuhan bagaimana negara ini tetap eksis,” kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini. (dwi,F4,H28,J22,J13-94)
Sumber: http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/program-bela-negara-dipaksakan/