Penyidik Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang menangani kasus dugaan tindak pidana korupsi Otto Cornelius Kaligis telah memenuhi kualifikasi sebagai penyidik. Sebab, penyidik KPK telah sesuai dengan definisi penyidik dalam Pasal 45 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) maupun Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hal tersebut disampaikan Direktur Litigasi Kementerian Hukum dan HAM Nasrudin, dalam sidang uji materiil UU KPK dan KUHAP yang dimohonkan OC Kaligis, Selasa (13/10) di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK).
Keterangan yang disampaikan Nasrudin tersebut guna menanggapi dalil Pemohon yang menyatakan penyidikan yang dilakukan terhadap diri Pemohon oleh penyidik KPK tidak memenuhi kualifikasi. Menurut Pemohon, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, KPK tidak hanya harus tunduk pada UU KPK yang memberikan kewenangan untuk melakukan penyidikan kasus korupsi, namun juga harus tunduk pada KUHAP. Selain itu, Pemohon juga beranggapan penyidik di KPK seharusnya adalah penyidik yang berasal instansi Kepolisian, bukan “penyidik independen” yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK sendiri.
Terhadap dalil Pemohon, Nasrudin mewakili Pemerintah berpendapat bahwa KUHAP merupakan ketentuan umum yang mengatur hukum formil, sedangkan UU KPK mengatur hukum materil yang bersifat khusus (lex specialis). Berdasarkan asas lex specialis derogat legi generalis, jelas Nasrudin, KUHAP yang bersifat umum dapat dikesampingkan oleh UU KPK yang bersifat khusus. Ketentuan yang bersifat umum dalam KUHAP, yakni Pasal 6 ayat (1) KUHAP dapat dikesampingkan oleh ketentuan yang bersifat khusus, yaitu Pasal 45 UU KPK. Hal ini dikarenakan tindak pidana korupsi digolongkan sebagai kejahatan luar biasa, sehingga penanganannya dilakukan dengan cara yang luar biasa.
“Bahwa materi muatan ketentuan Pasal 45 Undang-Undang KPK yang mengatur mengenai pengertian penyidik KPK merupakan materi muatan yang bersifat formil yang merupakan lex specialis dari pengertian penyidik KPK, sehingga sifatnya dapat melengkapi pengertian penyidik, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 6 ayat (1) KUHAP, sehingga tidak perlu dipertentangkan antara satu dengan yang lainnya,” tegas Nasrudin menjawab tudingan Pemohon.
Nasrudin melanjutkan, definisi penyidik dalam KUHAP dan UU KPK telah sejalan. Sebab, penyidik KPK yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK telah sesuai dengan pengertian pegawai pejabat negeri sipil tertentu sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf b KUHAP. Selain itu, kata Nasrudin, Pasal 45 UU KPK juga telah memberikan kewenangan kepada KPK untuk mengangkat penyidik KPK sendiri (penyidik independen).
Berdasarkan ketentuan Pasal 45 UU KPK, Nasrudin kemudian merumuskan definisi penyidik KPK yang mencakup empat pengertian. Pertama, penyidik KPK adalah penyidik pada KPK, bukan penyidik dari lembaga lain. Kedua, penyidik KPK diangkat oleh KPK. Ketiga, penyidik KPK dapat diberhentikan oleh KPK. Keempat, penyidik KPK melaksanakan tugas penyidikan terhadap tindak pidana korupsi.
“Oleh karena itu, secara tersirat, pembuat Undang-Undang KPK memberi ruang bagi KPK melalui Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang KPK untuk merekrut penyidik sendiri. Ketentuan ini dapat menjadi dasar bagi KPK untuk merekrut penyidik sendiri dan pelaksanaannya dapat didasarkan pada peraturan pimpinan KPK,” tegas Nasrudin di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Wakil Ketua MK, Anwar Usman.
Pada sidang perkara nomor 108-109/PUU-XIII/2015 tersebut, juga hadir Kepala Biro Hukum KPK Setiadi mewakili KPK selaku Pihak Terkait. Hampir serupa, dalam keterangannya Setiadi menegaskan dasar hukum adanya penyidik KPK. Menurut Pasal 45 UU KPK, kata Setiadi, KPK dimungkinkan untuk memiliki atau mengangkat penyidik KPK sendiri. “Ketentuan ini dapat menjadi dasar bagi KPK untuk merekrut penyidik sendiri dan pelaksanaannya dapat didasarkan pada peraturan pimpinan KPK,” jelas Setiadi.
Selain itu, alasan KPK merekrut penyidik sendiri dikarenakan pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal. Atas dasar itu, pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara profesional, intensif, dan berkesinambungan dengan salah satunya merekrut penyidik independen yang merupakan pegawai KPK. Setiadi melanjutkan, meski Pasal 39 ayat (3) UU KPK menyatakan penyelidik, penyidik dan penuntut umum yang menjadi pegawai pada KPK diberhentikan sementara dari instansi Kepolisian dan Kejaksaan selama menjadi pegawai pada KPK, namun menurut Setiadi ketentuan tersebut disusun atas dasar bahwa pada saat KPK didirikan, KPK belum memiliki penyidik internal atau penyidik sendiri. (Yusti Nurul Agustin/IR)