Mahkamah Konstitusi (MK) bekerja sama dengan DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menyelenggarakan acara Temu Wicara Hukum Acara Mahkamah Konstitusi di Jakarta pada 9-11 Maret 2007 lalu. Acara yang diikuti sekitar 200 orang fungsionaris PKS yang ada di legislatif, eksekutif, maupun pengurus/aktivis PKS ini merupakan angkatan kedua bagi kader PKS. Pada acara tersebut, para peserta mendapatkan materi tentang UUD 1945 dan proses perubahannya, serta fungsi dan kewenangan MK dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia, yang disampaikan oleh Ketua MK Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., Hakim Konstitusi, dan anggota MPR RI.
Dalam sambutannya, Presiden PKS, Tifatul Sembiring menyampaikan, pasca amandemen, masih banyak masyarakat yang belum sepenuhnya memahami UUD 1945. Jika sebelum amandemen saja banyak yang tidak memahami UUD 1945, apalagi setelah amandemen yang membuat UUD 1945 berubah hingga 80 persen, ujar Ustad Tif, panggilan karib Tifatul. Selain itu, Ustad Tif juga mengucapkan terima kasih kepada MK atas kerja sama yang dilaksanakan untuk menyelenggarakan acara temu wicara tersebut. Kerja sama ini, ujar Ustad Tif, merupakan salah satu bentuk partisipasi partai politik dalam upaya menumbuhkan kesadaran berkonstitusi di kalangan politisi dalam praktek kehidupan bernegara.
Sementara itu, Ketua MK Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. dalam ceramahnya menggambarkan ketidakpahaman masyarakat terhadap UUD 1945 hasil amandemen. Bahkan jika dihitung, kata Jimly, UUD 1945 yang asli hanya berisi 71 butir ketentuan, setelah amandemen, UUD 1945 berisi 199 ayat. Namun, meskipun perubahan tersebut menyebabkan isi UUD 1945 sekarang sangat jauh berbeda dengan yang asli, bukan berarti konstitusi negara diganti atau berubah menjadi UUD 2002, tandas Jimly.
Lebih lanjut, Prof. Jimly menambahkan, amandemen UUD bukanlah penggantian, karena perubahan hasil amandemen tidak disatukan dengan naskah UUD asli melainkan dilampirkan. Kalau ada naskah UUD yang terkonsolidasi dengan diberi tanda bintang satu, dua, tiga, dan empat, itu adalah naskah tidak resmi, sekedar memudahkan pembacanya, ujar Jimly.
Disamping itu, Prof. Jimly juga menekankan pentingnya menaati UUD 1945 sebagai konstitusi dan hukum dasar yang telah disepakati bersama dalam kehidupan bernegara. Untuk itu, Jimly berharap tidak ada lagi orang Islam yang mempertentangkan antara UUD 1945 sebagai hukum dasar dalam kehidupan bernegara dengan Al-Quran atau syariat Islam, karena keduanya berbeda dimensi penerapannya. UUD 1945 adalah perjanjian kita semua sebagai warga negara. Kita sebagai muslim sekali berjanji harus setia kepada apa yang diperjanjikan, ujar Jimly. (ardli)