Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membantah adanya kerugian konstitusional yang dialami Otto Cornelis Kaligis dengan adanya aturan penangguhan penahanan. Hal itu karena KPK tidak pernah menerima permohonan penangguhan penahanan dari Pemohon. Pernyataan tersebut disampaikan Kepala Biro Hukum KPK Setiadi saat menyampaikan keterangannya dalam sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang digelar MK pada Selasa (13/10), di Ruang Sidang Pleno MK.
“Permohonan uji materiil yang diajukan oleh Pemohon terkait dengan Pasal 46 ayat (2) Undang-Undang KPK adalah tidak sesuai dengan fakta hukum, yaitu Pemohon tidak pernah mengajukan permintaan penangguhan penahanan dalam proses penyidikan di KPK. Hal ini membuktikan bahwa Pemohon tidak mengalami kerugian konstitusional sebagaimana didalilkan,” terangnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Wakil Ketua MK Anwar Usman.
KPK selaku Pihak Terkait juga menegaskan, kewenangan penuh dalam memberikan penangguhan penahanan bergantung pada penyidik, penuntut umum, dan hakim seperti tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Namun, KUHAP memberikan aturan yang membatasi alasan-alasan penangguhan penahanan. Alasan tersebut di antaranya dari sudut kepentingan dan ketertiban umum dengan jalan pendekatan sosiologis, psikologis, korektif, dan edukatif. Setiadi melanjutkan, pemberian penangguhan penahanan bagi pelaku tindak pidana pembunuhan, narkotika, penyelundupan, atau korupsi secara umum bertentangan dengan kepentingan dan ketertiban umum.
“Ditinjau dari segi sosiologis dan psikologis penangguhan penahanan atas kejahatan tindak pidana semacam itu bertentangan dengan tujuan preventif, dan korektif, serta tidak mencerminkan upaya edukatif bagi anggota masyarakat. Oleh itu, kebebasan dan kewenangan menangguhkan penahanan jangan semata-mata bertitik tolak dari persyaratan dan jaminan yang ditetapkan, tetapi juga harus mengkaji dan mempertimbangkan lebih dalam dari aspek yang lebih luas,” jelas Setiadi memberikan keterangan dalam perkara yang terdaftar dengan Nomor 110/PUU-XIII/2015 ini.
Sementara itu, Pemerintah yang diwakili oleh Direktur Litigasi Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM Nasrudin menegaskan, permohonan Pemohon bukan terkait masalah konstitusionalitas norma, melainkan terkait penerapan norma. Selain itu, Pemerintah juga menjelaskan bahwa Pemohon telah diberikan haknya sebagai tersangka. “Menurut Pemerintah, hak tersangka telah diberikan kepada Pemohon seperti yang tercantum dalam ketentuan Pasal 59 yang menyatakan bahwa tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak diberitahukan tentang penahanan atas dirinya oleh pejabat yang berwenang pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan,” jelasnya.
Dalam permohonannya, Pemohon yang merupakan terdakwa kasus dugaan tindak pidana korupsi suap hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan tersebut merasa hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya ketentuan Pasal 46 ayat (2) UU KPK. Pasal 46 ayat (2) UU KPK menyatakan, “Pemeriksaan tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan tidak mengurangi hak-hak tersangka”. Pemohon menilai, Pasal 46 ayat (2) UU KPK bertujuan untuk memberikan jaminan perlindungan hak-hak tersangka. Namun ternyata, ketentuan tersebut tidak menjabarkan lebih lanjut mengenai uraian hak-hak tersangka sebagaimana diatur dalam KUHAP. Padahal menurut Pemohon, Indonesia sebagai negara hukum yang menganut prinsip asas kepastian dan perlindungan, harus memberikan jaminan hak konstitusional terhadap seseorang yang masih berstatus sebagai tersangka.
Pemohon kemudian berpendapat, ketentuan Pasal 46 ayat (2) UU KPK berpotensi membatasi hak-hak tersangka karena dapat ditafsirkan secara luas, terlebih apabila penafsiran dilakukan dengan kepentingan politik. Pemohon juga menganggap ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk hak-hak tersangka sesuai dengan Pasal 31 ayat (1) juncto Pasal 59 KUHAP, khususnya terkait dengan hak untuk mengajukan penangguhan penahanan karena tidak menjamin kepastian hukum. (Lulu Anjarsari/IR)