Sidang perbaikan permohonan uji materiil Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) dan Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (13/10) siang. Permohonan yang terdaftar dengan nomor 114/PUU-XIII/2015 ini diajukan oleh beberapa orang pekerja, Muhammad Hafidz, Wahidin, dkk.
Hafidz mewakili Pemohon prinsipal lainnya menyatakan, perbaikan permohonan dilakukan terhadap kesalahan pengutipan Pasal 171 UU Ketenagakerjan. Selain itu, Pemohon juga memperjelas kedudukan hukum (legal standing) dengan menambahkan bukti yang menguatkan. “Perbaikan terhadap legal standing Para Pemohon dengan penambahan bukti, Yang Mulia. Jadi Pemohon VII dan Pemohon VIII sekarang sedang berperkara di PHI dan jawaban daripada perusahaan mengaggap bahwa kasus mereka termasuk kedaluwarsa, yaitu Pemohon VII Saudara Deda Priyatna dan Pemohon VIII Muhammad Arifin,” ucap Hafidz kepada Majelis Hakim yang dipimpin Wakil Ketua MK Anwar Usman.
Pada sidang tersebut, Pemohon menegaskan tidak melakukan perbaikan petitum sebagaimana nasihat majelis hakim pada sidang sebelumnya. “Jadi petitum-nya tidak berubah, kami tetap meminta Pasal 171 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 dan Pasal 82 Undang-Undang PPHI untuk dibatalkan secara keseluruhan. Hanya itu yang kami perbaiki, Yang Mulia. Terima kasih,” kata Hafidz.
Setelah mengesahkan alat bukti, Anwar menyatakan bahwa Majelis Panel akan melaporkan hasil persidangan ke Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). “Baik, kalau begitu Saudara tinggal menunggu pemberitahuan dari Mahkamah tentang kelanjutan dari permohonan para Pemohon ini. Apakah cukup sampai di sini atau akan dilanjutkan. Nanti Majelis Panel akan melaporkan ke Rapat Permusyawaratan Hakim. Jelas ya?” papar Anwar.
Pada sidang pendahuluan, Pemohon mendalilkan Pasal 171 UU Ketenagakerjaan dan Pasal 82 UU PPHI mengatur bahwa pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal dilakukan PHK. Adanya tenggang waktu 1 (satu) tahun untuk mengajukan gugatan PHK menurut Pemohon berpotensi tidak dapat dilaksanakan karena terdapat beberapa permasalahan dalam praktiknya.
Pasal 171 UU Ketenagakerjaan menyebutkan, “Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159, Pasal 160 ayat (3), dan Pasal 162, dan pekerja/buruh yang bersangkutan tidak dapat menerima pemutusan hubungan kerja tersebut, maka pekerja/buruh dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal dilakukan pemutusan hubungan kerjanya.”
Pasal 82 UU PPHI menyebutkan, “Gugatan oleh pekerja/buruh atas pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159 dan Pasal 171 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 1 (satu) tahun sejak diterimanya atau diberitahukannya keputusan dari pihak pengusaha.”
Menurut Pemohon, apabila pekerja di-PHK dan tidak mengajukan gugatan atas PHK tersebut dalam waktu waktu 1 (satu) tahun sejak diberitahukan, maka pekerja akan kehilangan hak-haknya sebagaimana yang dijamin perundang-undangan yang berlaku, antara lain berupa uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak. Hal demikian menurut Pemohon telah menghilangkan jaminan perlindungan hukum bagi Pemohon. Untuk itu, Pemohon meminta kepada Majelis Hakim agar Pasal 171 UU Ketenagakerjaan dan Pasal 82 UU PPHI dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. (Nano Tresna Arfana/IR)