Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (UU Kepabeanan) dengan agenda pemeriksaan perbaikan permohonan. Sidang perkara yang teregistrasi dengan nomor 113/PUU-XIII/2015 tersebut digelar pada Selasa (13/10), di Ruang Sidang Pleno MK.
Pemohon diwakili kuasa hukumnya, Heriyanto Citra Buana menyatakan telah memperbaiki permohonan sesuai dengan saran majelis hakim pada sidang sebelumnya. Menurutnya, perbaikan permohonan dilakukan dengan memperjelas kedudukan hukum Pemohon sebagai perseorangan. “Kami tegaskan di dalam perubahan perbaikan itu, bahwa Pemohon adalah warga negara Indonesia yang melaksanakan tugas negara sebagai Kepala Seksi Kepabeanan dan Cukai Kantor Pengawasan Pelayanan Bea Cukai Entikong Kalimantan Barat periode September 2008 sampai dengan Maret 2011,” ujarnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams tersebut.
Selain itu, Pemohon juga memperjelas kerugian konstitusional yang dialami. Menurut Buana, Pemohon merasa hak konstitusionalnya terlanggar karena Penjelasan Pasal 5 ayat (3) dan (4) UU Kepabeanan mutitafsir. Perbedaan penafsiran dapat terjadi karena penjelasan pasal yang diujikan tersebut tidak mengatur secara tegas perbedaan kawasan pabean dengan kantor pabean.
Selain itu, jika dalam sidang sebelumnya petitum permohonan Pemohon hanya terkait dengan Pasal 5 ayat (3) UU Kepabeanan, kali ini Pemohon merubahnya dengan Penjelasan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) UU Kepabeanan. Sekaligus memperjelas perubahan petitum, Pemohon meminta agar Penjelasan Pasal 5 ayat (3) UU Kepabeanan ditambahkan frasa “untuk pelaksanaan pemenuhan kewajiban pabean.” Selengkapnya, “Untuk keperluan pelayanan, pengawasan, kelancaran lalu lintas barang, dan ketertiban bongkar muat barang, serta pengamanan keuangan negara, Undang-Undang ini menetapkan adanya kawasan pabean di pelabuhan laut, bandar udara, atau tempat lain yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan menetapkan adanya kantor pabean untuk pelaksanaan pemenuhan kewajiban pabean.” Selain itu, Pemohon juga meminta pemotongan frasa dalam ketentuan penjelas paragraf selanjutnya, sehingga berbunyi “Penunjukan pos pengawasan pabean diperlukan untuk membantu pejabat bea dan cukai melakukan pengawasan pabean.”
Petitum selanjutnya, Pemohon meminta Penjelasan Pasal 5 ayat (4) UU Kepabeanan ditambah dengan ketentuan baru. “Untuk penjelasan Pasal 5 ayat (4) yang semula berbunyi cukup jelas, maka kami memohonkan untuk ditetapkan adanya norma baru dalam penjelasan itu yang berbunyi, Penetapan kawasan pabean dimaksudkan untuk memudahkan pengawasan pabean sambil menunggu penyelesaian pabeannya, prosedur penyelesaian kewajiban pabean dapat dilakukan di tempat-tempat yang belum ditetapkan sebagai kawasan pabean atau tempat lain asalkan di tempat tersebut dapat dilakukan pengawasan pabean. Penetapan kantor pabean bertujuan untuk pelaksanaan pemenuhan kewajiban pabean. Kemudian penetapan pos pengawasan pabean diperlukan sebagai tempat pejabat bea dan cukai melakukan pengawasan dan pos tersebut merupakan bagian dari kantor pabean,” papar Buana.
Pada sidang sebelumnya, Iwan Jaya mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 5 ayat (4) UU Kepabeanan. Pasal tersebut menyatakan, “Penetapan kawasan pabean, kantor pabean, dan pos pengawasan pabean dilakukan oleh Menteri”. Ketentuan a quo dianggap telah menjerat Pemohon karena bersifat multitafsir. Pemohon menjelaskan, dirinya telah dituntut dengan dakwaan telah melakukan perbuatan melawan hukum karena telah memperbolehkan para importir untuk melakukan kegiatan impor. Impor tersebut yaitu memasukkan barang dari Negara Malaysia ke Negara Indonesia dengan menggunakan Pemberitahuan Impor Barang (PIB), invoice dan packing list seolah-olah Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) Entikong merupakan kawasan pabean.
Menurut Pemohon, terdapat perbedaan penafsiran terhadap ketentuan Pasal 5 ayat (4) UU Kepabeanan. Di salah satu pihak (Polda Kalbar, Jaksa Penuntut Umum Kejati Kalbar, dan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Pontianak) mengatakan bahwa di PPLB Entikong tidak bisa dilakukan kegiatan impor dengan menggunakan PIB karena PPLB Entikong belum ditetapkan sebagai kawasan pabean oleh Menteri Keuangan. Sedangkan di pihak yang lain (Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan, Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Dalam Negeri) menyatakan sebaliknya, bahwa di PPLB Entikong bisa dilakukan kegiatan impor dengan menggunakan PIB meskipun PPLB Entikong belum ditetapkan sebagai kawasan pabean oleh Menteri Keuangan. (Lulu Anjarsari/IR)