Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) – Perkara No. 89/PUU-XIII/2015 dengan agenda mendengarkan keterangan Ahli Pemerintah pada Selasa (13/10) siang. Dalam sidang kali ini, Pemerintah menghadirkan dua orang ahli, yakni Maruarar Siahaan dan La Ode Husen.
Mengawali keterangan ahlinya, Maruarar yang menjabat sebagai Rektor Universitas Kristen Indonesia (UKI) tersebut berpandangan, kewenangan Kepolisian dalam registrasi kendaraan bermotor dan penerbitan Surat Izin Mengemudi (SIM) berkorelasi dengan tugas melayani, melindungi dan mengayomi masyarakat, sehingga tidak bertentangan dengan Pasal 30 ayat (4) UUD 1945. “Kewenangan registrasi dan pemberian SIM memiliki relevansi dengan tugas melayani, melindungi dan mengayomi masyarakat, dilihat dari sejarah kepolisian Indonesia dan kebutuhan keamanan dalam rangka penegakan hukum saat ini,” ujar Maruarar.
Maruarar juga menegaskan, pemberian kewenangan kepada Kepolisian dalam registrasi kendaraan bermotor dan penerbitan SIM merupakan kebijakan hukum terbuka. “Norma yang dimohonkan pengujiannya tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, setidak-tidaknya merupakan kebijakan atau legal policy yang terbuka bagi pembuat undang-undang dilihat dari konteks sejarah, kebutuhan saat ini, dan konsolidasi kelembagaan,” ucap Maruarar.
Sementara itu, La Ode Husen akademisi Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar menerangkan, kewenangan Polri untuk menyelenggarakan registrasi kendaraan bermotor dan menerbitkan SIM bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat. La Ode juga menegaskan, kewenangan Polri untuk menerbitkan SIM tidak menghilangkan hak konstitusional Pemohon dalam bidang keamanan dan ketertiban masyarakat. Oleh karena itu, La Ode memberikan kesimpulan bahwa semua pasal yang diuji oleh Pemohon tidak bertentangan dengan Pasal 30 ayat (4) UUD 1945.
Sidang yang mengagendakan mendengar keterangan ahli dari Pemerintah ini merupakan kelanjutan dari sidang-sidang sebelumnya. Seperti diketahui, para Pemohon adalah Alissa Q. Munawaroh Rahman (Pemohon I), Hari Kurniawan (Pemohon II), Malang Corruption Watch yang diwakili Ketua Badan Pengurus Lutfi J. Kurniawan (Pemohon III), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia yang diwakili Ketua Badan Pengurus Alvon Kurnia Palma (Pemohon IV) dan Pengurus Pusat Pemuda Muhammadiyah yang diwakili Ketua Umum Dahnil Anzhar. Norma-norma yang diujikan yaitu Pasal 15 ayat (2) huruf b dan huruf c Undang-Undang Nomor 2 tentang Kepolisian serta Pasal 64 ayat (4) dan ayat (6), Pasal 67 ayat 3, Pasal 68 ayat (6), Pasal 69 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 72 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 75, Pasal 85 ayat (5), Pasal 87 ayat (2) dan Pasal 88 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Menurut para Pemohon, sesuai dengan Pasal 30 ayat (4) UUD 1945, Polri merupakan alat negara yang menjaga, keamanan dan ketertiban masyarakat, bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum. Hal ini berarti fungsi Polri adalah menjaga keamanan dan ketertiban. Sedangkan tugasnya yaitu melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum, untuk mendukung fungsi menjaga keamanan dan ketertiban. Sehingga Pemohon beranggapan, kewenangan Polri untuk menerbitkan SIM bukan merupakan bukan bagian dari menjaga keamanan dan ketertiban. Pemohon mendalilkan, dalam pembagian administrasi pemerintahan yang baik, maka wewenang mengeluarkan, mengatur, menjalankan dan menindak, seharusnya tidak berada pada instansi yang sama. (Nano Tresna Arfana/IR)