Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan perkara permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) yang dimohonkan oleh Pungki Harmoko selaku guru privat matematika. Dalam sidang dengan agenda pemeriksaan perbaikan permohonan perkara nomor 112/PUU-XIII/2015 tersebut, Pemohon memperjelas pokok-pokok permohonannya.
Di depan Majelis Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati, Pemohon menegaskan kembali pokok permohonannya. Menurutnya, frasa ‘keadaan tertentu’ dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU PTPK merupakan keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi. Pemberatan ini diberikan jika korupsi dilakukan terhadap dana-dana yang ditentukan bagi penanggulangan keadaan bahaya. bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi. Namun, Ia merasa Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU PTPK tidak selaras dengan cita-cita tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia sehingga merugikannya. Kerugian tersebut yaitu hilangnya hak dan harapan Pemohon akan terwujudnya negara yang makmur dan sejahtera sebagaimana yang terkandung dalam pembukaan alinea keempat Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Adapun Pasal 2 ayat (2) UU PTPK menyatakan,
“Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.”
Sedangkan Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU PTPK menyatakan,
“Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.”
Pemohon melanjutkan, pada hakikatnya sanksi dan hukuman yang terdapat dalam undang-undang harus mampu menimbulkan efek jera, baik kepada pelanggar hukum maupun bagi masyarakat umum. Menurutnya, hukuman dan sanksi bagi tindak pidana korupsi saat ini tidak memberikan efek jera bagi khalayak umum. Untuk itu, Pemohon menilai hukum yang bersifat fleksibel haruslah diperberat, sehingga akan berdampak pada terciptanya keamanan, kenyamanan yang berujung kepada kesejahteraan rakyat.
“Kesejahteraan lahir dan batin seharusnya didapatkan oleh Pemohon, yaitu sebesar Rp10.000.000,00 per bulan seperti yang termaktub dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945. Hak tersebut telah terampas dengan Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Pemberantasan Korupsi yang terlalu sempit ruang geraknya,” ujarnya di ruang sidang MK, Jakarta, Senin (12/10). (Lulu Hanifah/IR)