Pembatasan jangka waktu pengajuan grasi dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum, karena apabila tidak dibatasi maka penyelesaian permohonan grasi akan semakin menumpuk dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Hal tersebut diungkapkan oleh Direktur Litigasi Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM Nasrudin, saat menyampaikan keterangan Pemerintah terhadap permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi (UU Grasi), Senin (12/10), di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK). Perkara yang terdaftar dengan nomor 107/PUU-XIII/2015 ini dimohonkan oleh terpidana hukuman mati, Suud Rusli.
Di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin langsung oleh Ketua MK Arief Hidayat, Nasrudin menyampaikan bahwa ketentuan yang memberi batasan pengajuan grasi sudah tepat. Ketentuan yang tercantum dalam Pasal 7 ayat (2) UU Grasi tersebut menyatakan, permohonan grasi diajukan paling lama dalam jangka waktu satu tahun sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Nasrudin menjelaskan, ketentuan dalam Pasal 7 ayat (2) UU Grasi disusun dengan mempertimbangkan beban penyelesaian permohonan grasi. Seperti diketahui, grasi merupakan pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden. Menurut Nasrudin, dengan banyaknya permohonan grasi yang diajukan, maka UU Grasi memberi batasan pengajuan grasi agar tidak terjadi penumpukan penyelesaian permohonan grasi.
Selain itu, kata Nasrudin, batasan yang diberlakukan juga dimaksudkan untuk mencegah penyalahgunaan permohonan grasi. Sebab, pada praktiknya banyak dijumpai permohonan grasi yang dimaksudkan untuk menunda pelaksanaan putusan pengadilan. Dengan kata lain, permohonan grasi kerap disalahgunakan oleh terpidana untuk menunda eksekusi pengadilan terhadap dirinya.
“Permohonan grasi memakan waktu yang lama dan terlalu birokratis, sehingga dibentuklah Undang-Undang tentang Grasi yang substansinya mengatur tata cara pengajuan permohonan grasi, termasuk mengenai pengaturan permohonan grasi yang diajukan hanya paling lama dalam jangka waktu 1 tahun sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap,” ujar Nasrudin.
Terkait grasi bagi terpidana hukuman mati, Nasrudin menjelaskan bahwa Presiden dalam memberikan keputusan terhadap permohonan grasi, perlu mempertimbangakan secara arif dan bijaksana hal-hal terkait tindak pidana yang telah dilakukan oleh terpidana. Terlebih, bila tindak pidana tersebut dilakukan secara berulang-ulang, berupa tindak pidana kesusilaan dan tindak pidana yang dilakukan secara sadis dan berencana.
“Dengan demikian, Pemerintah tidak sependapat dengan dalil yang diajukan Pemohon, karena dengan tidak dibatasi pengajuan grasi, penyelesaian atas grasi akan semakin menumpuk, dan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi seseorang yang menginginkan kepastian atas dirinya dan orang lain yang membutuhkannya. Oleh karena itu, sudah tepat pembatasan pengajuan grasi diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010,” tukas Nasrudin.
Seharusnya pada sidang kali ini, DPR juga dijadwalkan turut hadir untuk memberikan keterangan. Namun, karena agenda yang berbenturan dengan sidang di DPR, maka DPR melayangkan surat izin untuk tidak hadir pada persidangan. Oleh karena itu, Mahkamah menjadwaklan untuk menggelar sidang pada Kamis (22/10) pukul 14.00 WIB, dengan agenda mendengarkan keterangan DPR sekaligus mendengarkan kesaksian tiga orang saksi dari Pemohon, serta keterangan tiga orang ahli Pemohon. (Yusti Nurul Agustin/IR)