Pembentukkan Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI) bertujuan untuk membentuk organisasi induk yang menaungi beberapa konsil dalam bidang kesehatan yang pada gilirannya akan memudahkan koordinasi dan harmonisasi dalam menangani masalah-masalah pada bidang kesehatan. Demikian disampaikan oleh akademisi Universitas Indonesia Dian Puji Nugraha Simatupang ketika menjadi Ahli yang diajukan oleh Pemerintah dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (UU Tenaga Kesehatan). Sidang dengan agenda mendengar keterangan ahli/saksi tersebut digelar pada Senin (12/10), di Ruang Sidang MK.
“Pembentukan Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia merupakan politik hukum negara guna mempolakan sinergitas antara konsil atau antarorganisasi profesi tenaga kesehatan, sehingga wewenang, koordinasi, dan tugas yang bersifat antar-wewenang, antar-koordinasi dan antar-tugas dapat mampu dijembatani secara sinergitas dan harmonis,” tuturnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat.
Sedangkan mengenai independensi setiap konsil yang berada di bawah KTKI, Dian menjelaskan UU Tenaga Kesehatan pada hakikatnya tetap memberikan kemandirian terhadap setiap konsil untuk menjalankan tugasnya. Maka, kata Dian, dengan sendirinya setiap konsil memiliki kewenangan dan koordinasi yang independen. “Mengenai independensi masing-masing konsil, Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tetap memberikan kemandirian atau tugasnya secara independen, sehingga dengan sendirinya memiliki norma, memiliki wewenang, dan koordinasi yang independen juga,” paparnya.
Sementara itu, Kepala Bagian Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Kesehatan Sundoyo menjelaskan, pada saat pembahasan Rancangan UU Tenaga Kesehatan sudah muncul ide penggabungan Konsil Kodokteran Indonesia (KKI) dengan KTKI. Sundoyo yang dihadirkan sebagai saksi oleh Pemerintah menuturkan, ide tersebut dimunculkan untuk melakukan efisiensi terhadap proses administrasi dan keuangan. Meski awalnya ide tersebut mendapat keberatan dari Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI), namun DPR dan Pemerintah sepakat untuk mengesahkan aturan tersebut. “Penggabungan tersebut ditujukan untuk efisiensi administrasi, keuangan, dan kemudahan koordinasi antarkonsil masing-masing profesi, tanpa menghilangkan independensi masing-masing konsil,” terangnya.
Sebelumnya, para Pemohon dalam perkara yang teregistrasi dengan nomor 82/PUU-XIII/2015 ini yaitu Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI), Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PB-PDGI), Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), dkk. Dalam pokok permohonannya, para Pemohon merasa terlanggar dengan beberapa pasal dalam UU Tenaga Kesehatan, yakni Pasal 1 angka 1 dan angka 6; Pasal 11 ayat (1) huruf a dan huruf m; Pasal 11 ayat (2) dan ayat (14); Pasal 12; Pasal 21 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6); Pasal 34 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (5), yang mengatur mengenai tenaga kesehatan. Selain itu, para Pemohon juga mempersoalkan konstitusionalitas Pasal 35; Pasal 36; Pasal 37; Pasal 38; Pasal 39; Pasal 40; Pasal 41; Pasal 42; Pasal 43; Pasal 90; serta Pasal 94, yang mengatur Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI).
Menurut para Pemohon, terdapat kesalahan konsepsional dan paradigmatik mengenai tenaga medis dalam UU Tenaga Kesehatan. Alasannya, UU Tenaga Kesehatan seharusnya membedakan antara tenaga profesi di bidang kesehatan (dokter dan dokter gigi) dengan tenaga vokasi (misalnya teknisi gigi). Selain itu, para Pemohon juga menggugat ketentuan yang mengatur mengenai pembentukan KTKI. Menurut Pemohon, peleburan Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi ke dalam KTKI telah menurunkan derajat para dokter. Berdasarkan UU Tenaga Kesehatan, KTKI tidak memiliki fungsi pengawasan, penegakan disiplin dan penindakan tenaga kesehatan. Para Pemohon menilai, KTKI sebagai pengganti KKI telah kehilangan independensinya, sebab saat ini KTKI tidak lagi bertanggung jawab langsung kepada Presiden melainkan melalui Menteri Kesehatan. (Lulu Anjarsari/IR)