Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar kegiatan Bimbingan Teknis (Bimtek) Penyelesaian Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (Pilkada) bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) se-Indonesia Angkatan III, di Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi (Pusdik MK), Cisarua, Bogor. Kegiatan yang diselenggarakan selama tiga hari, yakni 9 hingga 11 Oktober tersebut dibuka secara resmi oleh Kepala Pusdik MK, Noor Sidharta.
“Kami dari Mahkamah Konstitusi menyampaikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada Bapak Ibu yang hadir dari seluruh daerah, baik komisioner maupun petugas lainnya,” ujar Noor, Jumat (9/10), di hadapan 158 peserta yang hadir sebagai perwakilan dari KPU berbagai daerah tersebut.
Dalam kegiatan itu, dibahas berbagai materi baik dari segi teori maupun praktik penyelesaian perselisihan hasil Pilkada. Hadir sebagai narasumber pertama Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams yang kemudian membekali para peserta dengan materi “MK dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia”. Menurut Wahiduddin, Konstitusi adalah hukum tertinggi yang memuat tujuan-tujuan bernegara yang paling tinggi. Tujuan tersebut yaitu memberikan keadilan (justice) dan ketertiban (order), mewujudkan kemerdekaan dan kebebasan (freedom), serta meraih kemakmuran (prosperity) dan kesejahteraan (welfare) bagi seluruh rakyat secara merata.
“Konstitusi itu adalah untuk memberikan keadilan, ketertiban, kemerdekaan dan kebebasan, dan yang lebih kita dambakan itu adalah prosperity dan kesejahteraan, yang dulu selalu kita katakan adil dalam sejahtera dan sejahtera dalam keadilan,” papar Wahiduddin.
Setelah menjelaskan materi konsitusi dan konstitusionalisme, Wahiduddin melanjutkan pemaparannya tentang kedudukan MK. Menurut Wahiduddin, selain empat kewenangan dan satu kewajiban MK sebagaimana diatur dalam UUD 1945, MK pada tahun 2008 hingga 2014 juga berwenang untuk mengadili perkara sengketa Pilkada. Adapun latar belakang pengembanan kewenangan penyelesaian sengketa hasil Pilkada tersebut dimulai ketika pembentuk undang-undang mengesahkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Keberadaan UU tersebut menurut Wahiduddin telah memperluas pengertian pemilihan umum (pemilu), di mana Pilkada merupakan bagian dari rezim pemilu.
Lebih lanjut, perubahan lingkup Pilkada dari rezim pemerintahan daerah ke rezim pemilu dikukuhkan dalam UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan UU Pemerintahan Daerah. Pasal 236C UU Nomor 12 Tahun 2008 mengamanatkan pengalihan wewenang memutus sengketa Pilkada dari Mahkamah Agung (MA) kepada MK. Pengalihan wewenang itu selanjutnya secara resmi dilakukan MA kepada MK pada 29 Oktober 2008. Pada 2014, lanjut Wahiduddin, kewenangan untuk mengadili perkara sengketa Pilkada ini dihapuskan oleh MK melalui putusan nomor 97/PUU-XI/2013 yang membatalkan keberlakuan Pasal 236C UU Nomor 12 Tahun 2008. Namun, setelah itu muncul berbagai kendala sehingga pembentuk undang-undang mengembalikan mandat penyelesaian sengketa hasil Pilkada kepada MK melalui UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada, sebagai kewenangan transisional sampai terbentuknya badan peradilan khusus.
Berbagai materi terkait dengan praktik penyelesaian perselisihan hasil Pilkada juga diberikan kepada peserta, antara lain materi tentang hukum acara perselisihan hasil Pilkada dipaparkan oleh Janedjri M. Gaffar. Materi yang terdapat dalam Peraturan MK Nomor 1 Tahun 2015 tersebut disampaikan dengan lugas oleh Janedjri, sehingga peserta semakin mudah memahaminya. “Jika Bapak Ibu nanti menyampaikan jawaban Termohon, Bapak Ibu akan mendapatkan APJT, yaitu Akta Pengajuan Jawaban Termohon, Bapak Ibu minta itu setelah menyerahkan jawaban Termohon,” ucap Janedjri menjelaskan alur penyelesaian sengketa hasil Pilkada di MK.
Setelah mendapatkan meteri tentang tahapan persidangan perselisihan hasil Pilkada, para peserta kemudian diberikan materi teknik penyusunan jawaban Pemohon dan Termohon oleh Panitera Muda MK, Muhidin. Menurut Muhidin, sistematika permohonan Pemohon terdiri dari identitas lengkap Pemohon dan uraian yang jelas mengenai kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum Pemohon, tenggang waktu pengajuan permohonan, pokok permohonan Pemohon dan permintaan Pemohon. Sedangkan sistematika jawaban Termohon paling kurang memuat nama dan alamat termohon, uraian yang jelas tentang jawaban Termohon terhadap permohonan serta permintaan Termohon. Selain memuat uraian tersebut, jawaban Termohon juga dapat memuat tanggapan terhadap kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum Pemohon dan tenggang waktu pengajuan permohonan.
Selain pemateri dari MK, kegiatan Bimtek ini juga mengadirkan pemateri dari Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dan KPU RI. Hadir dalam acara tersebut pejabat dari Direktorat Gratifikasi KPK Asep Rahmat Suwanda yang memberikan materi tentang integritas diri, organisasi dalam pencegahan gratifikasi dan tindak pidana korupsi pada perselisihan hasil Pilkada. Sedangkan KPU RI diwakili oleh komisionernya Ida Budhiati yang memaparkan memaparkan materi bertajuk Konsolidasi Internal KPU dalam Perselisihan Hasil Pilkada. Menurut Ida, meskipun dalam Pilkada hanya terdapat calon tunggal, maka pemilihan tetap dilakukan, tidak dapat ditunda pada periode berikutnya karena berpotensi menghilangkan hak warga negara. “Dalam menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi, KPU tidak hanya membaca amar putusan MK saja, jadi yang dibaca itu bukan sebagian ujungnya saja, tetapi Saya mencoba memahami apa sebenarnya ruh, spirit yang dikandung dalam putusan Mahakamah Konstitusi,” kata Ida.
Setelah para peserta mensimulasikan teknik penyusunan jawaban Termohon, kegiatan Bimtek penyelesaian perkara perselisihan hasil Pilkada ini ditutup pada Minggu (11/10). “Bapak Ibu ini memegang tanggung jawab yang besar menegakkan demokrasi dan bertanggung jawabnya itu bukan hanya kepada bangsa, tetapi juga kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jadi saya hanya bisa memohon kepada Bapak Ibu semua, peganglah amanah ini dengan sebaik-baiknya dan Saya yakin amalan Bapak Ibu ini akan dibalas dengan diberikan keberkahan,” tandas Noor. (Triya IR)