Sebanyak 59 mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Kuningan (FH Uniku) Jawa Barat bertandang ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Jumat (9/10) siang. Selain para mahasiswa, turut hadir Wakil Dekan I FH Uniku Diding Rahmat dan beberapa orang dosen.
“Kunjungan ini dapat mengenalkan kepada mahasiswa agar lebih dekat tentang Mahkamah Konstitusi dari sisi fungsi dan sejarahnya. Selain itu, kunjungan kami bertujuan membangun kesadaran, inspirasi, pencerahan dan wawasan Konstitusi bagi mahasiswa,” ujar Diding, saat menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan.
Kunjungan tersebut diterima oleh Peneliti MK, Fajar Laksono Soeroso yang kemudian menjelaskan sejarah dan peran MK Republik Indonesia (MKRI). Fajar menerangkan, MKRI yang didirikan pada 13 Agustus 2003 berkedudukan hanya di ibukota negara dan tidak memiliki cabang di daerah. Untuk memudahkan persidangan, MK bekerja sama dengan sejumlah perguruan tinggi di seluruh Indonesia, menempatkan perangkat video conference yang berguna untuk persidangan jarak jauh.
“Tidak bisa dipungkiri, MK selama 12 tahun sudah memberikan kontribusi bagi perkembangan demokrasi dan penegakan hukum di Indonesia dengan kewenangannya untuk mengawal Konstitusi,” ucap Fajar.
Fajar melanjutkan, kontribusi MK dalam membangun kehidupan demokrasi di Indonesia dilakukan melalui kewenangannya menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar (UUD), memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD, dan memutus perselisihan hasil pemilu. Sedangkan kewenangan yang belum pernah dijalankan MK adalah memutus pembubaran partai politik dan satu kewajiban yakni memutus pendapat DPR bila Presiden/Wakil Presiden diduga melakukan pelanggaran hukum.
Usai penyampaian materi, berlanjut dengan sesi tanya jawab. Salah seorang mahasiswa, Komar menanyakan perihal Hakim Konstitusi berasal dari partai politik (parpol) yang dikhawatirkan punya kepentingan terhadap parpolnya. Menjawab pertanyaan itu, Fajar mengatakan bahwa hal itu semata-mata merupakan stigma. “Saya kira, itu adalah sebuah stigmatisasi. Tidak boleh ada stigmatisasi bahwa orang parpol kemudian akan jelek kalau menjadi hakim. Tidak ada masalah kalau hakim berasal dari parpol,” papar Fajar.
Pertanyaan berikutnya dari mahasiswa bernama Agil. Ia menanyakan soal kedudukan MK yang hanya ada di ibukota negara dan tidak memiliki cabang di daerah. Fajar menjelaskan, keberadaan MK hanya ada di ibukota negara didasarkan pada filosofi MK sebagai peradilan tunggal yang punya kewenangan utama menguji Undang-Undang terhadap UUD. “Harapannya, MK menjadi peradilan yang cepat, putusannya tidak bisa dibanding. MK juga tidak memiliki hierarki peradilan-peradilan di bawahnya dan tidak memiliki cabang di daerah. Itulah filosofi kenapa MK hanya berada di ibukota negara,” tandas Fajar. (Nano Tresna Arfana/IR)