Lembaga Pers Mahasiswa “Gema Keadilan” Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (FH Undip) Semarang berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK), pada Kamis (8/10) pagi. Kedatangan rombongan mahasiswa tersebut diterima oleh Peneliti MK Fajar Laksono Soeroso, di Aula Gedung MK. Fajar kemudian mengisi kegiatan dengan diskusi terkait sifat putusan MK dan sejarah pengujian undang-undang.
Mengawali diskusi, Fajar memaparkan materi tentang dengan sifat putusan MK. Menurut Fajar, baik di Indonesia maupun di negara-negara lain, putusan MK bersifat final dan mengikat. “Semua putusan MK di berbagai negara termasuk Indonesia, final and binding, tidak bisa dibanding. Kalau sudah diputuskan, ya sudah sampai kapan pun itulah putusannya. Tidak ada upaya hukum lagi,” ucap Fajar yang didampingi Febri Tuwanto, Pimpinan Umum LPM Gema Keadilan FH Undip.
Fajar mencontohkan, MK telah memberikan putusannya terhadap ketentuan calon kepala daerah dari mantan narapidana, kerabat petahana, maupun calon tunggal sebagaimana diatur dalam Undang No. 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah. “MK sudah memberikan syarat-syarat pencalonan mantan narapidana menjadi kepala daerah. Tapi kemudian ada putusan MK yang terbaru, tidak perlu harus bebas lima tahun. Kalau dia sudah menjalani hukumannya dan kemudian berterus terang kepada publik melalui media, haknya sudah sama dengan warga negara biasa yang ingin mencalonkan sebagai kepala daerah,” papar Fajar kepada 32 mahasiswa yang hadir.
Kemudian terkait dengan larangan kerabat petahana mencalonkan diri menjadi kepala daerah, Fajar menyatakan bahwa kententuan tersebut juga telah diputus oleh MK. “MK memutuskan bahwa benar norma yang menyatakan kerabat petahana yang punya konflik kepentingan itu inkonstitusional, dalam rangka melindungi hak asasi warga negara,” ucap Fajar.
Lebih lanjut, Fajar menuturkan sejarah pengujian undang-undang di dunia. Gagasan besar MK adalah judicial review atau pengujian konstitusionalitas undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Hal ini menurut Fajar sudah muncul sejak adanya Kasus Marbury vs Madison di Amerika Serikat pada 1803. Saat pemilihan Presiden Amerika Serikat, Thomas Jefferson berhasil mengalahkan incumbent John Adams. Menjelang lengser dari kursi Presiden, John Adams membuat surat keputusan yang isinya terkait dengan pengangkatan para pejabat, termasuk menjadi hakim.
Dalam perkembangannya, Thomas Jefferson menolak memberikan salinan surat keputusan pengangkatan itu kepada pejabat yang bersangkutan. Kemudian, William Marbury sebagai salah satu orang yang diangkat sebagai hakim memprotes tindakan tersebut karena merasa Surat Keputusan pengangkatan dirinya sudah disetujui Senat. Selanjutnya Marbury mengadu ke Mahkamah Agung Amerika Serikat dan meminta untuk memerintahkan Presiden mengeluarkan suatu tindakan (writ of mandamus). Namun, Putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat akhirnya menolak gugatan Marbury dan dari kasus itulah judicial review muncul.
Berbagai kesan disampaikan beberapa mahasiswa mengenai pertemuan tersebut. Riyanto mengaku senang berkunjung ke MK, karena selain mendapatkan materi berharga dari narasumber, Ia dan teman-temannya dapat melihat langsung Pusat Sejarah Konstitusi di Lantai 5 dan 6 Gedung MK. Demikian juga dengan Rina yang merasa senang karena mendapatkan informasi yang bermanfaat. “Kami bisa mendapatkan informasi-informasi berguna mengenai Konstitusi maupun kinerja MK itu sendiri,” kata Rina salah seorang mahasiswa. (Nano Tresna Arfana/IR)