Agus, seorang karyawan yang merasa peduli terhadap advokasi ketenagakerjaan, mengajukan gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), pada Kamis (8/10). Pemohon dalam perkara No. 119/PUU-XIII/2015 ini pada intinya merasa dirugikan dengan ketentuan kepesertaaan BPJS yang bersifat wajib.
Dalam permohonannya, norma yang digugat Pemohon yakni Pasal 4 huruf g UU BPJS yang menyatakan “BPJS menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional berdasarkan prinsip kepesertaan bersifat wajib”. Norma tersebut menurut Pemohon bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2), Pasal 28H ayat (1), (2), (3), dan ayat (4) UUD 1945.
Pemohon beralasan, kepesertaan BPJS yang bersifat wajib telah merugikan hak konstitusional Pemohon dan keluarganya untuk dapat memilih perlindungan dan jaminan layanan kesehatan yang lebih baik (dari BPJS, red). Sebelum adanya ketentuan Pasal 4 huruf g UU BPJS, Pemohon mengaku sebagai karyawan PT Bukit Muria Jaya telah mendapatkan jaminan kesehatan berkelas internasional. Jaminan kesehatan tersebut didapatkannya bahkan dengan tidak perlu mengeluarkan biaya apa pun. Dengan kata lain, semua biaya untuk jaminan kesehatan ditanggung penuh oleh perusahaan.
“Sejak diberlakukannya Undang-Undang BPJS pada bulan Juli 2015 dan pada saat itu pula upah Pemohon dipotong sebesar satu persen, tanpa (sebelumnya, red) mengisi formulir BPJS. Maka dari itu, Pemohon sangatlah dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011,” ujar Agus yang hadir tanpa didampingi satu orang pun kuasa hukum.
Pemohon pun beranggapan seharusnya BPJS tidak perlu memaksanaan kepesertaan kepada tenaga kerja. Sebab, pada dasarnya program BPJS merupakan program yang bersifat sosial. Apalagi, program BPJS tersebut justru dilengkapi sanksi untuk perusahaan yang tidak mendaftarkan tenaga kerjanya menjadi peserta BPJS. Padahal, program BPJS sendiri justru menyulitkan pesertanya, mulai dari prosedur yang rumit hingga syarat penggunaan BPJS hanya untuk cek kesehatan tertentu.
Faktanya, lanjut Agus di hadapan panel hakim yang diketuai Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, perusahaan tempat Agus bekerja sudah secara sadar memberikan jaminan kesehatan kepada tenaga kerja dan keluarganya. “Bahwa komitmen PT Bukit Muria Jaya melindungi Pemohon dan keluarganya, karyawan dan keluarganya dalam hal kesehatan selama 25 tahun. Dalam setiap perubahan perjanjian kerja bersama PKB pada Bab 9 Pemeliharaan Kesehatan, Pasal 41 tidak pernah ada perubahan, sampai dengan saat ini,” ujar Agus membandingkan fasilitas kesehatan yang diterimanya sebelum adanya BPJS.
Oleh karena itulah, Agus meminta Mahkamah untuk menyatakan ketentuan yang mewajibkan kepesertaan BPJS bertentangan dengan UUD 1945. “Menyatakan Pasal 4 huruf g Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Jaminan Sosial, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 6, khususnya pada frasa ‘kepesertaan bersifat wajib’ tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya,” tegas Agus.
Saran Hakim
Usai mendengar pokok permohonan yang disampaikan Agus, Palguna memberikan saran yang dapat dipakai Agus untuk memperbaiki permohonannya. Palguna menyarankan agar Agus dapat membedakan kerugian konstitusional dengan kerugian ekonomi. Meski kerugian konstitusional berkait dengan persoalan ekonomi, namun essensi keduanya tidak sama. Seharusnya, saran Palguna, Pemohon dapat mengaitkan ketentuan yang mewajibkan kepesertaan BPJS dengan hak yang diatur di dalam UUD 1945, misalnya hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak.
Hampir senada, Hakim Konstitusi Aswanto menyampaikan bahwa Pemohon terlalu banyak menguraikan hal-hal yang bersifat faktual. Namun, inti dalam perkara pengujian undang-undang yang seharusnya dimunculkan justru tidak diuraikan oleh Pemohon, yakni adanya pertentangan norma undang-undang dengan UUD 1945.
“Meski Saudara menguraikan banyak sekali pasal Undang-Undang Dasar yang anggap dilanggar, tapi Saudara tidak menunjukkan pertentangan normanya. Seharusnya Pasal 4 huruf g yang Saudara ajukan harus menjadi fokus dengan dicari pasal yang paling cocok di dalam Konstitusi yang berkaitan dengan norma itu,” saran Aswanto.
Sementara itu Hakim Konstitusi Suhartoyo memberikan saran terkait petitum permohonan Pemohon. Suhartoyo mengatakan, bila pasal yang digugat Pemohon nantinya dihilangkan, hal demikian belum tentu menjamin terpenuhinya hak warga negara lainnya atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Bisa saja terjadi, pekerja lainnya yang merasa tertolong dengan adanya ketentuan wajib daftar BPJS menjadi dirugikan hak konstitusionalnya ketika ketentuan tersebut dihilangkan. “Jadi Bapak juga mestinya harus berpikir secara jernih secara komprehensif, luas wawasannya, bagaimana dengan perusahaan-perusahaan lain yang mungkin tidak meng-cover (jaminan kesehatan bagi pekerja, red) atau meng-cover tapi belum penuh. Coba direnungkan kembali,” saran Suhartoyo.
Bila ingin dilanjutkan permohonan ini, Palguna menyampaikan bahwa Mahkamah memberikan waktu 14 hari untuk Pemohon menyerahkan perbaikan permohonan. “Bapak diberikan kesempatan untuk melakukan perbaikan permohonan selama 14 hari dan itu artinya terakhir harus sampai di tangan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 21 Oktober 2015 pada pukul 10.00 WIB,” tutup Palguna. (Yusti Nurul Agustin/IR)