Ketentuan tiga tempat praktek bagi para dokter dan dokter gigi yang diatur oleh Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran (UUPK) dianggap telah merugikan hak konstitusional para dokter dan masyarakat umum. Hal tersebut diungkapkan oleh dr. Anny Isfandyarie Sarwono, Sp.An., S.H. dkk. dalam persidangan judicial review UUPK terhadap UUD 1945 di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Jumat (9/3). Judicial review tersebut diajukan oleh dr. Anny sebagai Pemohon Prinsipal serta enam orang Pemohon lainnya yang turut mengajukan uji materiil terkait kerugian yang dialaminya.
Pada sidang yang mengagendakan pemeriksaan atas perbaikan permohonan tersebut, Pemohon mengurangi sejumlah pasal yang diujikan dari permohonan sebelumnya. Dalam permohonan awal pada sidang pendahuluan yang digelar hari Rabu (21/2), Pemohon memohonkan pengujian terhadap sejumlah pasal pada UUPK yang terkait dengan ketentuan keharusan memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Ijin Praktek (SIP), yakni Pasal 29 ayat (1), Pasal 36, Pasal 37 ayat (2), Pasal 73 ayat (1), ayat (2), ayat (3), Pasal 75 ayat (1), Pasal 76, Pasal 77, Pasal 78, dan Pasal 79 huruf a. Namun dalam perbaikan permohonan, pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji materil berkurang menjadi enam pasal, yakni hanya pasal 37 ayat (2), Pasal 37 Ayat (2), Pasal 75 Ayat (1), Pasal 76, Pasal 79 huruf a dan Pasal 79 huruf c. Pasal-pasal tersebut merupakan pasal-pasal yang memuat ketentuan pembatasan tempat praktek dokter hanya pada tiga tempat dan pasal yang mengkriminalisasi dokter pelanggar ketentuan tersebut.
Saya sekarang menjadi tidak berani melakukan pertolongan terhadap pasien gawat darurat, padahal bisa dibilang saya adalah ahli dalam hal gawat darurat, ujar dr. Bambang Tutuko, salah seorang Pemohon yang juga merupakan spesialis anestesi yang mencemaskan sanksi pidana terhadap aktivitas medis yang dilakukannya di luar SIP yang dimilikinya.
Sedangkan Pemohon lainnya, Prof. Dr. RM Padmo Santjojo, mengatakan UUPK menyebabkan banyak masyarakat tidak mendapatkan layanan kesehatan sesuai kebutuhannya karena keterbatasan jumlah dokter spesialis di Indonesia, bahkan di beberapa provinsi tidak memiliki dokter spesialis tertentu. Ditambahkan oleh Pemohon lainnya, H. Chanada Achsani, SH., karena terkendala ketentuan tiga tempat praktek tersebut, dirinya sempat ditolak seorang dokter saat dirinya membutuhkan pelayanan medis karena krisis hipertensi dengan alasan dokter tidak memiliki SIP di rumah sakit yang memberikan pelayanan askesnya.
Ketua panel hakim, Prof. HAS Natabaya, SH., LLM. menyampaikan perihal apakah pembatasan SIP hanya pada tiga tempat dalam ilmu kedokteran benar atau tidak dan apakah ancaman pidana dalam pelanggaran ketentuan tersebut benar atau tidak akan sangat tergantung dari persidangan yang nanti akan digelar. Oleh karena itu, hakim Natabaya menambahkan, agar Pemohon mempersiapkan ahli yang benar-benar relevan dengan perkara ini. (ardli)