Mahkamah Konstitusi (MK) menilai, ketentuan yang menyatakan pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya adalah bagian dari kebijakan pendidikan di Indonesia dalam mencapai pendidikan untuk semua orang. Menurut Mahkamah, kata “menjamin” mempunyai pengertian bahwa pemerintah dan pemerintah daerah harus merencanakan, menyiapkan untuk membiayai dan memfasilitasi terselenggaranya wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar. Hal tersebut disampaikan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams saat membacakan pendapat Mahkamah dalam putusan perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) yang dimohonkan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia dan kawan-kawan, Rabu (7/10), di Ruang Sidang Pleno MK.
Sebelumnya dalam permohonan, para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 6 ayat (1) UU Sisdiknas bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “yang berusia tujuh sampai dengan delapan belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar dan pendidikan menengah.” Pemohon beranggapan, ketentuan Pasal 6 ayat (1) UU Sisdiknas yang menyatakan “Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar,” mengandung implikasi bahwa anak yang berusia 16 sampai dengan sebelum 18 tahun tidak mendapat perlindungan khusus dari negara terkait pemenuhan hak atas pendidikan.
Menurut Mahkamah, sudah terdapat pengaturan dalam Peraturan Pemerintah tentang Wajib Belajar yang menegaskan bahwa pemerintah daerah dapat menetapkan kebijakan untuk meningkatkan jenjang pendidikan wajib belajar sampai pendidikan menengah. Kemudian, peraturan pemerintah itu juga menyebutkan bahwa aturan lebih lanjut mengenai pelaksanaan program wajib belajar sampai pendidikan menengah diatur melalui peraturan daerah sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. Mahkamah kemudian mencontohkan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan, di mana telah menetapkan peraturan daerah tentang penyelenggaraan sekolah gratis hingga pendidikan menengah.
“Pembentuk peraturan daerah di Provinsi Sumatera Selatan misalnya, telah menetapkan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2009 yang telah diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 17 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Sekolah Gratis di Sumatera Selatan. Dalam Peraturan Daerah tersebut dimuat ketentuan bahwa setiap SD/SDLB/MI, SMP/SMPLB/MTs, SMA/SMALB/MA, SMK, baik negeri maupun swasta berhak mendapatkan biaya operasional sekolah dari Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Demikian pula misalnya di tingkat kabupaten, pembentuk Peraturan Daerah di Kabupaten Muaro Jambi telah menetapkan Peraturan Daerah Nomor 04 Tahun 2013 tentang Sistem Penyelenggaraan Pendidikan. Dalam peraturan daerah tersebut dimuat ketentuan yang menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi masyarakat yang berusia tujuh sampai dengan delapan belas tahun,” ungkap Wahiduddin membacakan pendapat Mahkamah dalam putusan perkara No. 92/PUU-XII/2014 ini.
Oleh karena itu menurut Mahkamah, pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) bagi pemerintah maupun pemerintah daerah. Namun Mahkamah menegaskan, open legal policy harus sesuai dengan asas pembentukan perundang-undangangan, yaitu asas dapat dilaksanakan. Asas dapat dilaksanakan merupakan titik tolak dan tolok ukur untuk dapat dilaksanakannya peraturan perundang-undangan. Bila suatu peraturan perundang-undangan tidak dapat dilaksanakan dengan baik karena tidak didukung dengan kesiapan sarana, prasarana, sumber daya, dan anggaran, Mahkamah menilai nantinya justru peraturan perundang-undangan tersebut akan menimbulkan kekecewaan masyarakat.
“Suatu peraturan perundang-undangan yang tidak dapat dilaksanakan baik karena sarana, prasarana, sumber daya, dan anggaran yang belum disiapkan secara baik, selain akan menggerogoti marwah lembaga pembentuk peraturan perundang-undangan juga akan menimbulkan kekecewaan pada harapan masyarakat,” ucap Wahiduddin.
Berdasarkan hal-hal tersebut, Mahkamah pun mencapai kesimpulan bahwa meski Mahkamah berwenang mengadili permohonan dan para Pemohon memiliki kedudukan hukum, namun Mahkamah menyatakan permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum. “Amar Putusan. Mengadili, menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” tutup Wakil Ketua MK, Anwar Usman mengucapkan amar putusan Mahkamah dengan didampingi tujuh Hakim Konstitusi lainnya. (Yusti Nurul Agustin/IR)