Guna meminimalisasi tindak penyelewengan, kewenangan mengelola ketenagalistrikan dapat juga dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota sebagai garda terdepan dalam pelayanan masyarakat. Demikian disampaikan oleh Akademisi Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar melalui fasilitas video conference dalam sidang pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) yang digelar pada Rabu (7/10), di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK).
Zainal menambahkan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan (UU Ketenagalistrikan) sejatinya telah menghapus monopoli pihak tertentu dengan tujuan untuk mengurangi bentuk penyelewengan maupun politisasi. Namun, lanjut ahli yang dihadirkan Pemohon tersebut, UU Pemda justru tidak memberi kewenangan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota. Hal ini yang menurutnya dapat mengakibatkan terbukanya peluang terjadinya politisasi ketenagalistrikan di tingkat Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat.
“Penempatan ketenagalistrikan di provinsi sangat tidak jelas politik hukum yang dianut dan yang diinginkan, oleh karena ketenagalistrikan adalah hal yang berbeda sifatnya dengan perizinan tambang yang sangat penat dengan kepentingan koruptif dan politis. Apalagi, ketenagalistrikan menjadi sangat mungkin dipolitisasi oleh Kepala Daerah Provinsi yang berbeda kepemimpinan partai dengan Kepada Daerah Kabupaten/Kota,” ujarnya di hadapan majelis hakim yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Sementara itu, Refly Harun yang juga hadir sebagai ahli Pemohon menjelaskan, kelangkaan listrik yang dialami oleh masyarakat Kabupaten Kutai Barat seharusnya tidak perlu terjadi jika ada regulasi yang memberi kewenangan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota untuk mengelola ketenagalistrikan. Menurutnya, listrik saat ini bukan hanya kebutuhan, namun juga merupakan hak asasi yang harus dipenuhi negara. Oleh karena itu, lanjutnya, pemberian kewenangan pengelolaan ketenagalistrikan kepada daerah kabupaten/kota tidak boleh hanya dilihat sebagai sekedar pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah sebagaimana yang menjadi landasan pembentukan UU Pemda.
“Sangat tidak beralasan ketika terjadi kelangkaan pasokan listrik di daerah-daerah sebagaimana dialami Kabupaten Kutai Barat, dalam permohonan disebutkan seperti itu, Pemerintah Pusat membuat suatu regulasi yang melarang Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota membangun cabang-cabang produksi yang bergerak di bidang ketenagalistrikan dan menyerahkan kewenangan tersebut hanya kepada Pemerintah Provinsi, padahal Pemerintah Provinsi belum tentu dapat melaksanakan kewajiban tersebut kepada seluruh daerah kabupaten/kota sebagaimana yang terjadi di Provinsi Kalimantan Timur,” ujarnya.
Bupati Kabupaten Kutai Barat Ismail Thomas, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Kutai Barat Jackson John Tawi dan Ketua Presidium Dewan Adat Kabupaten Kutai Barat Yustinus Dullah tercatat sebagai pemohon perkara yang teregistrasi dengan Nomor 87/PUU-XIII/2015 tersebut. Para Pemohon mengeluhkan Kabupaten Kutai Barat yang mengalami masalah ketenagalistrikan, yaitu pemadaman listrik, tidak stabilnya listrik, sulitnya mendapat sambungan listrik dan mahalnya biaya penyambungan listrik. Bahkan, hingga kini di Kabupaten Kutai Barat hanya 30% masyarakat yang mendapat pelayanan listrik sebagai akibat kurangnya pasokan listrik di Kabupaten Kutai Barat.
Kemudian, Pemerintah Kabupaten Kutai Barat bermaksud membangun pembangkit tenaga listrik dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam yang ada. Namun, rencana tersebut terkendala dengan adanya ketentuan yang terdapat dalam Lampiran CC angka 5, Sub Urusan Ketenagalistrikan dari UU Pemda, yang hanya mengatur kewenangan ‘Pemerintah Pusat’ dan ‘Pemerintah Daerah Provinsi’ dalam masalah ketenagalistrikan. Ketentuan yang terdapat dalam Lampiran CC angka 5 Sub Urusan Ketenagalistrikan UU Pemda tersebut kemudian dianggap telah merugikan para Pemohon karena menghapuskan kewenangan ‘Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota’ dalam hal ketenagalistrikan. (Lulu Anjarsari/IR)