Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana uji materi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI). Permohonan yang tercatat dengan nomor 116/PUU-XIII/2015 tersebut diajukan oleh Edwin Hartana Hutabarat, seorang warga negara penyandang disabilitas. Pemohon menguji Pasal 82 UU PPHI yang mengatur tenggang waktu pengajuan gugatan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Pasal 82 UU PPHI menyatakan:
“Gugatan oleh pekerja/buruh atas pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159 dan Pasal 171 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 1 (satu) tahun sejak diterimanya atau diberitahukannya keputusan dari pihak pengusaha.”
Diwakili Barita Sumanbatu selaku penerjemah, Pemohon merasa dirugikan dengan ketentuan tersebut yang hanya memberi waktu satu tahun untuk mengajukan gugatan pemutusan hubungan kerja. Sebab, Pemohon terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) pada tanggal 12 September 2014 sehingga tenggang waktu untuk mengajukan gugatan sudah habis. Padahal, Pemohon mengaku perjuangannya memperoleh hak-haknya sebagai pekerja yang di-PHK masih belum tuntas usai setahun berjalan.
“Saya masih ingin menyurati lagi kepada pihak-pihak terkait untuk meminta bantuan keadilan agar perkara saya bisa dimenangkan, berupa uang pesangon, penghargaan masa kerja, penggantian kekurangan upah dari tahun 2006 sampai dengan 2014, tunjangan hari raya dari tahun 2006 sampai dengan 2014, dan ganti rugi sebagaimana yang diatur oleh Undang-Undang Ketenagakerjaan. Tetapi waktu dan mesin gerak saya dibatasi dan ditutup oleh ketentuan Pasal 82 dimaksud,” ujar Pemohon di Ruang Sidang MK, Jakarta, Selasa (6/10).
Salah satu penyebab lambatnya proses gugatan PHK, menurut Pemohon dikarenakan ketidaknetralan Kepala Dinas Sosial dan Tenaga Kerja (Dinsosnaker) Kota Medan dan mediator yang memediasi perselisihan hubungan industrial. Hal tersebut dinilai Pemohon telah merugikan dirinya serta menguntungkan pimpinan perusahaan. “Mereka tidak memperjuangkan dan mengabulkan hak-hak saya sebagaimana mestinya. Saya tiga kali menyurati kepala Dinsosnaker Kota Medan untuk meminta bantuan keadilan yang hakikat atau seadil-adilnya, tapi tidak ditanggapi sampai sekarang,” tuturnya.
Saat ini, Pemohon tidak dapat mengajukan gugatan baru kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan. Sebab, berdasar ketentuan Pasal 82 UU PPHI, setelah 12 September 2015, waktu Pemohon untuk mengajukan gugatan sudah habis. “Kini sia-sialah perjuangan dan pencarian keadilan saya selama ini,” imbuhnya.
Oleh karena itu, Pemohon meminta MK menambahkan norma dalam Pasal 16 UU PPHI, yakni penambahan ayat (2) yang menyatakan, “Mediator atau pihak dinas tenaga kerja wajib membayar ganti rugi atau uang tanggung jawab kepada pekerja atau buruh yang telah mengadu kepada dinas tenaga kerja apabila tidak netral, menghilangkan hak-hak dan tuntutan pekerja atau buruh berupa uang pesangon, penghargaan masa kerja, penggantian hak kekurangan upah, dan tunjangan hari raya dan/atau ganti rugi dan merugikan pekerja atau buruh, serta menguntungkan pihak perusahaan di dalam surat anjuran.”
Pemohon juga meminta Mahkamah menyatakan Pasal 82 UU PPHI bertentangan dengan UUD 1945 serta bertentangan dengan UU Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat dan Peraturan Pemerintah tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat.
Menanggapi permohonan tersebut, Majelis Hakim yang diketuai Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati dengan didampingi Hakim Konstitusi Aswanto dan Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul menyatakan MK merupakan lembaga peradilan yang kewenangannya menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Oleh karena itu, tidak tepat apabila Pemohon meminta MK menyatakan norma yang diuji bertentangan dengan UU Penyandang Cacat dan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1998.
“MK hanya berwenang menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945, tidak dengan undang-undang yang lain, dan bukan dengan peraturan pemerintah atau putusan Mahkamah,” ujar Maria.
Majelis Hakim juga menekankan permohonan Pemohon merupakan kasus konkret, yaitu hal-hal yang dialami oleh Pemohon, sehingga Pemohon perlu memperpendek permohonannya dengan hanya menjelaskan dampak dari pemberlakuan pasal yang diujikan. “Jadi, alasan permohonannya sebetulnya apa sebabnya Anda mengatakan bahwa Pasal 82 itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945? Itu yang harus dijelaskan,” imbuhnya. (Lulu Hanifah/IR)