JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) dalam penyelesaiian Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilkada Serentak 2015 tidak lagi menangani kecurangan yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Hal ini berbeda dengan mekanisme-mekanisme yang ada sebelumnya.
"Kalau sudah selesai di tingkat bawah kan kita tinggal hitung selisih suaranya saja benar atau engga, tapi kalau ada yang memang benar-benar keterlaluan (kecurangan) kita gali," kata Ketua MK Arief Hidayat kepada wartawan, di Gedung MK Jakarta Pusat.
Hal ini mengingat jumlah peserta dari Pilkada serentak yang sangat banyak dan belum terbentuknya badan peradilan khusus dalam menangani sengketa pemilu.
"Dengan waktu yang sedikit, undang-undang juga demikian (amanah undang-undang) , kita hanya menyelesaikan perselisihan yang berhubungan dengan sengketa angka (hasil pilkada), kecuali dalam hal tertentu terbuka kemungkinan," jelasnya.
Menurut Arief sengketa lain di lain sengketa hasil diharapkan telah selesai di tingkat terbawah seperti Panwaslu, Bawaslu, Gakkumdu (penegakan hukum terpadu dan PTUN.
"Kita harap di tingkat bawah sudah selesai seperti masalah yang berhubungan dengan money politik, pelanggaran pidana, kita tinggal angka-angka saja," tambahnya.
Jika dulu pelanggaran ataupun kecurangan yang terkait dengan proses pencalonan bisa diajukan ke MK dengan syarat TSM. Namun pada kontestasi Pilkada Serentak 2015 menurut Arief sangat kecil kemungkinan untuk MK menyelesaikan masalah tersebut.
"Keliahatannya sangat kecil, karena Bawaslunya sudah menyelesaiakan masalah, PTUN juga. Kalau dulu masalah pencalonan bisa sampai sini," pungkasnya.
Berdasarkan Peraturan MKRI Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota pasal 6 diatur mekanisme pemohonan pemohon untuk penyelesaian sengketa hasil pilkada.
Untuk provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan 2 juta jiwa pengajuan permohonan yang bisa diterima MK jika terdapat perbedaan hasil pilkada paling banyak 2 persen antara pemohon dan pasangan yang memeroleh suara terbanyak berdasarkan penetapan hasil perhitungan suara.
Bagi provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 2 juta sampai dengan 6 juta pengajuan boleh dilakukan jika terdapat perbedaan perolehan suara paling banyak 1,5 persen.
Sedangkan provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari enam juta sampai 12 juta pengajuan bisa dilakukan jika terdapat perbedaan perolehan paling banyak 1 persen. Selanjutnya provinsi yang lebih dari 12 juta jiwa pengajuan jika terdapat perbedaan suara 0,5 persen.
Untuk kabupaten ataupun kota dengan jumlah penduduk 250 ribu jiwa pengajuan dilakukan dengan selisih suara 2 persen. Untuk kabupaten atau kota dengan jumlah penduduk 250 ribu- 500 ribu jiwa bisa diajukan sengketa PHPU ke MK dengan selisih suara 1,5 persen.
Sedangkan kabupaten atau kota dengan jumlah penduduk 500 ribu- 1 juta jiwa pengajuan dengan selisih 1 persen dan yang berjumlah 1 juta jiwa dengan selisih suara 0,5 persen.