Mahkamah Konstitusi (MK) melakukan judicial review Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terhadap UUD 1945, Senin 26 Februari 2007 di ruang sidang MK. Perkara No. 6/PUU-V/2007 ini dimohonkan oleh seorang dokter sekaligus Direktur Forum Komunikasi Antar-Barak (FORAK) Dr. R. Panji Utomo dengan Kuasa Hukum A.H. Wakil Kamal, S.H.
Dalam petitum yang dibacakan kuasa hukumnya, Pemohon meminta Majelis Hakim Konstitusi menyatakan Pasal 107, Pasal 154, Pasal 155, Pasal 160, Pasal 161, Pasal 207, dan Pasal 208 KUHP bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Permohonan ini didasari oleh fakta bahwa Pemohon divonis melakukan tindak pidana: di muka umum mengeluarkan pernyataan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah Negara Indonesia berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh tanggal 18 Desember 2006, setelah sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka dengan tuduhan telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap kepentingan umum, yaitu telah menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah Republik Indonesia sebagaimana diatur dan diancam melalui Pasal 154 jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP Subsidair Pasal 160 jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP lebih subsidair Pasal 155 jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP dan UU No. 9 Tahun 1998 tentang Tata Cara Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Akibat penerapan Pasal 154, Pasal 155, dan Pasal 160 KUHP tersebut, Pemohon merasa hak konstitusionalnya telah dirugikan terutama yang diatur dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 28F UUD 1945.
Ketika memaparkan kronologi kasus, Pemohon menyampaikan bahwa vonis yang dia terima disebabkan keterlibatannya dalam aksi demonstrasi bersama para pengungsi korban Tsunami Aceh di kantor Badan Rehabilitasi Rekonstruksi (BRR) Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias. Demonstrasi yang semula berjalan kondusif kemudian berakhir dengan anarkis. Akibatnya, Pemohon yang kala itu menjadi bagian dari tim negosiasi, ditetapkan sebagai tersangka dan pada akhirnya divonis bersalah berdasarkan Pasal-Pasal KUHP di atas.
Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan ini, Ketua Hakim Panel Dr. H. Harjono, S.H., MCL. menasehati Pemohon untuk memperbaiki permohonannya dengan lebih memperjelas kapasitas Pemohon sebagaimana tercantum dalam Pasal 51 UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK dan penjelasan mengenai kerugian konstitusional apa saja yang dialami Pemohon. Isi permohonan ini lebih banyak mencantumkan kronologis fakta yang dialami Pemohon. Padahal perlu diingat, bahwa MK menyidangkan norma. Maka dari itu, kuasa hukum Pemohon perlu lebih menitikberatkan pada penjelasan kerugian konstitusional yang dialami pemohon, jelas Harjono.
Selain itu, lanjut Harjono, setiap pasal yang diajukan Pemohon sebenarnya mempunyai penjelasan argumentasi sendiri-sendiri. Jadi Pemohon harus menguraikan penjelasan tersendiri untuk tiap-tiap pasal, tidak bisa dibuat penjelasan secara borongan, tambah Harjono.
Senada dengan Harjono, Hakim Anggota Panel I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H. juga meminta pemohon memfokuskan permasalahan permohonan pada rasionalitas pasal-pasal yang dimohonkan. Selain itu, mohon salinan pasal-pasal yang akan diuji dicantumkan pula secara jelas di permohonan supaya para hakim dan pemohon sendiri lebih mudah membaca dan memahami persoalan, ulas Palguna.
Sebelum menutup persidangan, Hakim Konstitusi Harjono memberi kesempatan pada pemohon untuk memperbaiki permohonannya hingga batas waktu 14 hari masa kerja. (Wiwik Budi Wasito)