Pembangunan ekonomi untuk negara-negara berkembang, menurut Michael P Todaro dalam bukunya yang telah menjadi klasik, Development Economic in Third Word (1986), bukan hanya sekadar mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tapi juga memecahkan problem kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan yang sering kali menjadi penghambat kemajuan dan "pertumbuhan berkelanjutan".
Dengan mengutip pendapat tokoh pemikir pembangunan ekonomi dunia ketiga tersebut, bagi Indonesia menjadi sangat penting dalam mengevaluasi proses pembangunan yang lalu, kini maupun yang akan datang.
Tujuan bernegara bangsa Indonesia tercantum dalam sila Kelima Pancasila, "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia." Hal ini diperkokoh secara konstitusional dalam Batang Tubuh Konstitusi UUD NRI 1945 sebagai penjabarannya.
Menurut banyak studi (Damanhuri, 1990; Mubyarto, 2001; Swasono, 2005 ), "Ideologi Ekonomi Indonesia" tertuang dalam pasal-pasal ekonomi UUD 1945, terutama pasal-pasal 27 (ayat 2), 33 (ayat 1, 2, dan 3) dan 34 (ayat 1). Jika dirangkaikan secara bebas, maka ketentuan-ketentuan itu berbunyi, "Sistem ekonomi Indonesia (SEI) disusun sebagai usaha bersama berdasar asas "kekeluargaan", di mana (1) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menyangkut hajat hidup rakyat banyak dikuasai negara, (2) bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, (3) tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, dan (4) fakir, miskin, dan anak-anak telantar dipelihara oleh negara yang dikembangkan sebagai sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat.
Dengan mazhab ekonomi berbasis konstitusi tersebut, kita bisa menjawab pendapat Todaro seperti telah dikutip dalam awal tulisan di atas. Mengapa? Karena pembangunan ekonomi yang berlangsung di negeri ini secara empiris masih mengandung paradoks.
Di satu pihak pernah mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi secara konsisten dari 1970 sampai 1998 (masa Orde Baru), yakni sekitar tujuh persen per tahun. Namun, masih menghadapi permasalahan pengangguran terbuka sekitar lima persen dan setengah pengangguran lebih dari 40 persen.
Kemudian, kemiskinan ekstrem 1997 sekitar 13 persen (sementara penduduk yang berpenghasilan dua dolar AS per hari yang menurut Bank Dunia termasuk kategori miskin masih lebih dari 50 persen) dan menghadapi problem ketimpangan antara golongan pendapatan, di mana meski rasio Gini konsumsi sekitar 0,32 (relatif dalam ketimpangan sedang), tapi ketimpangan antarwilayah (Jawa-luar Jawa, juga Indonesia bagian barat dibandingkan bagian timur) sangat buruk.
Di era Reformasi dalam tiga dasawarsa terakhir ini pun keadaannya belum banyak berubah. Pertumbuhan ekonomi lebih rendah, yakni sekitar lima persen rata-rata per tahun, pengangguran terbuka sekitar 5-6 persen, dan setengah pengangguran 30 persen, serta kemiskinan ekstrem sekitar 12 persen (sementara penduduk yang berpendapatan dua dolar AS per hari masih sekitar 46 persen).
Namun, ketimpangan jauh lebih buruk, yakni dengan rasio Gini konsumsi 2013 angkanya 0,413 (ketimpangan buruk) dan ketimpangan antarwilayah yang masih tetap juga sangat buruk.
Dengan rumusan yang merupakan mazhab pemikiran ekonomi berbasis konstitusi seperti diungkapkan di atas, seyogianya dapat mengoreksi dan lebih mampu menyelaraskan antara target pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi di satu pihak, dan saat yang sama akan lebih mampu menyelesaikan problem kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan yang merupakan problem ketidakadilan sosial. Mengapa? Karena dengan ekonomi berbasis UUD NRI 1945 tersebut, berarti arah pembangunan harus lebih berorientasi kepada penciptaan kesempatan kerja (mengurangi pengangguran terbuka maupun setengah pengangguran serta kemiskinan), pencapaian sebesar-besar kemakmuran rakyat (bukan kemakmuran orang per orang yang banyak menimbulkan ketimpangan).
Masalahnya, bagaimana merevitalisasi ekonomi berbasis konstitusi tersebut masuk ke dalam peraturan perundang-undangan, Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), kebijakan pemerintah pusat dan daerah-daerah, serta melaksanakannya secara konsisten dan sistematis. Hingga akhir ini, misalnya, menurut hasil penelitian ada sekitar 112 UU yang kurang sesuai dengan UUD NRI 1945.
Juga ada letter of intent Dana Moneter Internasional (IMF) yang kemudian menjadi white paper yang masih dipakai dalam perencanaan pembangunan sehingga terjadi terus divestasi (baca: menjual) BUMN-BUMN potensial seperti bank-bank BUMN, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, dan lain-lain. Yang mencolok adalah UU Bank Indonesia (BI) dan UU Perbankan. Keduanya absen dari klausul pertimbangan yang mencatumkan pasal 27 UUD 1945. Akibatnya, tak ada keharusan bagi BI dan perbankan nasional untuk mendorong penciptaan kesempatan kerja seluas-luasnya.
Di samping itu, absennya prinsip financial inclusion—yang memungkinkan kalangan usaha kecil dan menengah (UKM) mendapat akses memadai atas perbankan nasional. Tak kurang pentingnya adalah UU Lalu Lintas Devisa—kini tengah menghadapi judicial review di Mahkamah Konstitusi yang diajukan Muhammadiyah.
UU ini membebaskan devisa hasil ekspor disimpan di luar negeri. Akibatnya, sekitar 150 miliar dolar AS dana di luar negeri itu tidak bisa digunakan untuk memperkuat likuiditas perbankan nasional.
Maka, di samping kondisi ini memperlemah posisi rupiah, juga semakin memperkecil peluang UKM memperoleh akses perbankan. Di samping itu, UU Migas juga bermasalah karena memberi peluang divestasi Pertamina hingga di atas 51 persen. Suatu saat, sebagai konsekuensinya, harga minyak dan gas (migas) bisa ditentukan aktor-aktor pasar di luar negeri.
Masih banyak hal lain termasuk yang terjadi di daerah-daerah, misalnya, APBD yang sebagian besar habis masih untuk anggaran rutin. Padahal, menurut Pasal 23 ayat 2 UUD 1945, anggaran itu ditujukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Jika upaya koreksi itu tidak segera dilakukan, akan memperlemah tingkat kemandirian dan keberdaulatan ekonomi nasional sehingga menyulitkan pencapaian tujuan nasional untuk menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sementara, model pembangunan yang diwujudkan ke dalam peraturan perundang-undangan, RPJM, kebijakan pusat maupun daerah-daerah yang berbasis konstitusi UUD NRI 1945 serta dilaksanakan secara konsisten dan sistematis akan menciptakan "pertumbuhan berkelanjutan" yang pada gilirannya akan dapat memperkokoh ketahanan nasional. Semoga. n
Didin S Damanhuri
Tenaga Ahli Lemhannas, Guru Besar IPB