Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menyatakan inkonstitusional bersyarat Pasal 4 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat terkait sumpah advokat di Pengadilan Tinggi (PT). Dalam putusannya, MK menyatakan tetap memerintahkan PT seluruh Indonesia mengambil sumpah advokat yang diusulkan organisasi advokat yang secara de facto ada yakni Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) dan Kongres Advokat Indonesia (KAI).
“Pasal 4 ayat (1) sepanjang frasa 'di sidang terbuka Pengadilan Tinggi' dalam UU Advokat bertentangan dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa pengadilan tinggi atas perintah undang-undang wajib mengambil sumpah para advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan keanggotaan organisasi advokat yang secara de facto ada yaitu PERADI dan KAI,” ucap Ketua MK, Arief Hidayat saat membacakan putusan bernomor 112/PUU-XII/2014 dan 36/PUU-XIII/PUU-XIII di Gedung MK, Selasa (29/9).
Sebelumnya, sejumlah advokat Ismet, Abraham Amos dkk mempersoalkan Pasal 4 ayat (1) dan (3) UU Advokat terkait kewajiban sumpah advokat di PT. Permohonan ini diajukan karena Pemohon melihat MK dan MA beda tafsir terkait pelaksanaan pasal itu. Dalam Putusan No. 101/PUU-VII/2009, MK menafsirkan PT wajib mengambil sumpah para advokat tanpa mengaitkan keanggotaan organisasi advokat yang ada saat ini.
Dalam praktiknya, MA seringkali menolak usulan sumpah advokat yang bukan berasal dari PERADI, sehingga ada perlakuan yang berbeda oleh MA terhadap KAI. Hal ini menunjukkan Putusan MK No. 101/PUU-VII/2009 dalam praktiknya belum dilaksanakan. Karenanya, mereka meminta MK menghapus Pasal 4 ayat (1) sepanjang frasa “pengadilan tinggi” dan Pasal 4 ayat (3) sepanjang frasa “oleh Panitera Pengadilan Tinggi” dalam UU Advokat.
Mahkamah mengutip kembali Putusan No.101/PUU-VII/2009 yang mewajibkan para advokat mengambil sumpah tanpa mengaitkan keanggotaan organisasi advokat yang ada saat itu. Apabila setelah jangka waktu dua tahun organisasi advokat seperti dimaksud Pasal 28 ayat (1) UU Advokat belum terbentuk, perselisihan tentang organisasi advokat yang sah diselesaikan melalui peradilan umum.
Meski pasca putusan itu telah ada piagam perdamaian/nota kesepahaman antara PERADI dan KAI bertanggal 24 Juni 2010 yang ditandatangani Ketua MA saat itu, Harifin A Tumpa. Namun para pemohon masih mengalami kesulitan beracara di pengadilan karena PT tidak bersedia menyumpah para advokat yang bukan dari PERADI. Dalam sidang pun, MA tidak ingin lagi terseret pada konflik dan tidak dalam posisi mengakui atau tidak mengakui kedua organisasi (PERADI dan KAI) yang bertikai.
Atas dasar itu, Mahkamah merasa perlu memperkuat kembali amar Putusan No.101/PUU-VII/2009 dan tidak perlu lagi memberikan jangka waktu penyelesaian konflik internal organisasi advokat yang terus muncul. Sebab, persoalan eksistensi kepengurusan organisasi advokat yang sah menjadi tanggung jawab sepenuhnya organisasi advokat itu sendiri selaku organisasi yang bebas dan mandiri untuk meningkatkan kualitas profesi advokat.
“Keharusan mengambil sumpah para advokat oleh PT tanpa mengaitkan keanggotaan organisasi advokat yang secara de facto ada agar tidak mengganggu proses pencarian keadilan (access to justice) bagi masyarakat yang membutuhkan jasa advokat dan tidak menghalang-halangi hak konstitusional para advokat,” ujar Hakim Konstitusi Suhartoyo saat membacakan pertimbangan putusan.
Terkait advokat tergabung dalam wadah tunggal (singlebar) atau multibar, Mahkamah berpendapat, hal tersebut merupakan kebijakan hukum terbuka yang menjadi kewenangan pembentuk undang-undang dan semua pemangku kepentingan (para advokat dan organisasi advokat) untuk menentukan apakah selamanya organisasi advokat akan menjadi organisasi tunggal atau berubah menjadi multi organ.
“Masih ada upaya hukum lain melalui legislative review yang dapat dilakukan para advokat untuk menentukan solusi yang terbaik bagi eksistensi organisasi advokat demi menjamin dan melindungi hak-hak konstitusional para advokat dalam menjalankan profesinya,” kata Suhartoyo.
Memperkuat Putusan Sebelumnya
Usai persidangan, Abraham Amos mengatakan putusan MK ini memperkuat putusan MK sebelumnya. Sebab, selama ini, Putusan MK No.101/PUU-VII/2009 tidak bisa dilaksanakan baik oleh MA, PERADI, maupun KAI sendiri. “Kita anggap semua advokat bisa disumpah oleh PT. Atau advokat mengangkat sumpah sendiri oleh organisasi advokat juga silakan, wong ribuan advokat PERADI banyak yang belum disumpah karena ditolak PT,” kata Abraham.
Abraham menegaskan putusan MK ini tidak hanya untuk kepentingan PERADI dan KAI, melainkan demi kemajuan dunia advokat Indonesia. “Saya berjuang ini atas nama pribadi tanpa membawa-bawa kubu-kubu KAI atau PERADI, tetapi ini untuk seluruh advokat. Wong advokat PERADI juga ada yang didzalimi karena masih banyak yang belum disumpah,” tegasnya.
Sementara perwakilan PERADI kubu Fauzie Yusuf Hasibuan, Happy Sihombing mengatakan putusan ini intinya hanya mengakui PERADI dan KAI yang berhak dan berwenang mengusulkan penyumpahan advokat kepada PT. Artinya, organisasi di luar PERADI-KAI, tidak bisa mengusulkan sumpah advokat kepada PT.
“Putusan ini agak berbeda dengan Surat Ketua MA yang baru saja terbit 25 September 2015 kemarin menyebut semua organisasi advokat bisa disumpah. Tetapi, kalau putusan ini, jelas menyebut PERADI-KAI,” katanya.
Dia menilai putusan MK ini sebagai ultra petita alias mengabulkan yang sebenarnya tidak diminta pemohon. “Saya melihat putusan MK ini, ultra petita, mengabulkan sesuatu yang tidak diminta pemohon. Kan pemohon minta agar tidak disumpah di PT dan tidak dihadapan Panitera PT,” kata Happy usai persidangan di Gedung MK.
“Intinya, putusan ini sebenarnya sama dengan putusan MK sebelumnya. Bedanya, Putusan MK No.101/PUU-VII/2009, ditentukan tenggang waktu 2 tahun untuk menyelesaikan konflik organisasi advokat, kalau tidak diselesaikan di pengadilan umum. Nah, putusan ini tidak ditentukan,” ujar Ketua Bidang Pembelaan Organisasi PERADI kubu Fauzie Yusuf Hasibuan.