DPR Patuh pada Putusan MK soal Pilkada
Kamis, 01 Oktober 2015
| 06:45 WIB
Jakarta, CNN Indonesia -- Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan putusan Mahkamah Konstitusi soal Pemilihan Kepala Daerah tidak bisa diganggu gugat lantaran bersifat final dan mengikat. Dengan kata lain mekanisme gelaran Pilkada tahun ini mau tak mau harus mengikuti putusan yang telah diketok MK.
Meski menerima putusan MK, Ketua DPR Setya Novanto bakal mengundang Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu untuk menjalin koordinasi dengan Komisi II DPR. Pertemuan ini diperlukan untuk bisa saling memberikan penjelasan dalam menanggapi putusan MK.
"Ini harus terus dikaji secara jelas supaya semuanya bisa memberikan arti yang baik bagi semua pihak," kata Setya saat ditemui di Gedung DPR, Rabu (30/9).
Segendang dengan Setya, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menilai putusan MK merupakan cara yang paling praktis agar pasangan calon tunggal memiliki keabsahan penuh dalam memimpin daerahnya. Putusan itu juga dianggap cara memperpendek masa penantian pelaksana tugas (Plt) kepala daerah.
"Jadi untuk sementara terima saja dulu. Kalau memang kita mau bikin revisi undang-undang Pilkada kita bikin skenario baru," kata Fahri.
Fahri menilai urusan calon tunggal kepala daerah tidak perlu dipersoalkan selama mereka mendapat dukungan penuh dari masyarakat. Hal ini dinilai lumrah sebab di negara-negara lain pun Pilkada tidak akan digelar selama masyarakat tidak menghendaki pergantian pemimpin di daerahnya.
"Apalagi soal calon tunggal kepala daerah terlebih dulu meminta konfirmasi kepada rakyat. Itu demokratis," kata dia.
Politisi Partai PKS ini meminta publik agar tidak terlalu berlebihan menanggapi keputusan MK. Ia beralasan kalau rakyat di satu kabupaten memang menjatuhkan pilihan kepada satu calon tunggal ini tidak jadi masalah. “Memangnya kenapa?" kata Fahri.
Dalam putusannya MK menyatakan manifestasi kontestasi Pilkada lebih tepat dipadankan dengan pemungutan dengan cara "setuju atau "tidak setuju" dalam surat suara yang didesain sedemikian rupa sehingga memungkinkan rakyat untuk menentukan pilihan.
Mekanisme itu akan menetapkan kepala daerah terpilih bila suara terbanyak adalah "setuju". Sebaliknya, apabila pilihan "tidak setuju" memperoleh suara terbanyak maka pemilihan ditunda sampai Pilkada serentak berikutnya.
MK menilai mekanisme ini tidak bertentangan dengan undang-undang. Sebab, bila nantinya Pilkada harus ditunda pada dasarnya ini merupakan keputusan rakyat melalui pemberian suara "tidak setuju".
Sumber: http://www.cnnindonesia.com/politik/20150930154130-32-81901/dpr-patuh-pada-putusan-mk-soal-pilkada/