Iwan Jaya selaku Kepala Seksi Kepabeanan dan Cukai Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Entikong, Kalimantan Barat, ajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (UU Kepabeanan). Sidang perdana perkara yang teregistrasi dengan Nomor 113/PUU-XIII/2015 tersebut digelar pada Rabu (30/9), di Ruang Sidang Pleno MK.
Pemohon yang diwakili kuasa hukumnya, Heriyanto Citra Buana mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 5 ayat (4) UU Kepabeanan. Pasal 5 ayat (4) UU Kepabeanan menyatakan “Penetapan kawasan pabean, kantor pabean, dan pos pengawasan pabean dilakukan oleh Menteri”. Menurut pemohon, ketentuan tersebut telah merugikan dirinya karena bersifat multitafsir.
Pemohon menjelaskan, dirinya telah dituntut dengan dakwaan telah melakukan perbuatan melawan hukum karena telah memperbolehkan para importir untuk melakukan kegiatan impor. Impor tersebut yaitu memasukkan barang dari Negara Malaysia ke Negara Indonesia dengan menggunakan Pemberitahuan Impor Barang (PIB), invoice dan packing list seolah-olah Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) Entikong merupakan kawasan pabean.
Menurut Pemohon, terdapat perbedaan penafsiran terhadap ketentuan Pasal 5 ayat (4) UU Kepabeanan. Di salah satu pihak (Polda Kalbar, Jaksa Penuntut Umum Kejati Kalbar, dan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Pontianak) mengatakan bahwa di PPLB Entikong tidak bisa dilakukan kegiatan impor dengan menggunakan PIB karena PPLB Entikong belum ditetapkan sebagai kawasan pabean oleh Menteri Keuangan. Sedangkan di pihak yang lain (Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan, Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Dalam Negeri) menyatakan sebaliknya, bahwa di PPLB Entikong bisa dilakukan kegiatan impor dengan menggunakan PIB meskipun PPLB Entikong belum ditetapkan sebagai kawasan pabean oleh Menteri Keuangan.
“Namun faktanya terdapat peraturan perundang-undangan Republik Indonesia yang masih berlaku sampai dengan saat permohonan ini diajukan ke Majelis Konstitusi yang telah memperbolehkan dilakukannya impor dengan menggunakan PIB di PPLB Entikong sejak tahun 1995 sampai dengan sekarang,” ujarnya.
Pemohon menyampaikan, tindakannya diambil berlandaskan pada peraturan lainnya yang masih berlaku, yakni Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 36KP3/1995 tanggal 13 Maret 1995 tentang Perdagangan Lintas Batas Melalui Pos Pemeriksaan Lintas Batas Entikong di Provinsi Kalimantan Barat. Kemudian Surat Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Nomor 1104/DAPLU/SD/12/2014 tanggal 22 Desember 2014.
Untuk itu dalam permohonannya, Pemohon meminta agar Majelis Hakim menyatakan Pasal 5 ayat (3) UU Kepabeanan bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), Pasal 23A ayat (1), dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 sepanjang tidak ditafsirkan bahwa ‘di PPLB Entikong bisa dilakukan kegiatan ekspor-impor dengan menggunakan dokumen Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB)/PIB meskipun di PPLB Entikong belum ada penetapan oleh Menteri Keuangan sebagai kawasan pabean sehingga kegiatan impor-ekspor yang sudah berlangsung di PPLB Entikong sejak tahun 1995 dan sudah menghasilkan penerimaan Negara berupa BM, PNBP, dan PDRI untuk membiayai pembangunan melalui APBN adalah sah dan berlandaskan pada hukum serta ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Republik Indonesia’.
Menanggapi permohonan tersebut, Majelis Hakim memberikan saran perbaikan kepada Pemohon. Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati mengingatkan Pemohon bahwa kewenangan MK adalah menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945, bukan mempermasalahkan kasus faktual. Selain itu, Maria Farida juga menyatakan argumentasi permohonan Pemohon terkait pasal yang diujikan dengan norma UUD 1945 sebagai batu uji, tidak jelas.
“Yang salah yang mana? Pertentangannya dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 itu apa? Karena kalau di sini Anda harus melihat di sini tidak mengadili kasus konkret bahwa kemudian bisa alas dasarnya itu kasus konkret yan terjadi, tapi kita akan melihat dari rumusan pasal tersebut, apakah pasal itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 atau tidak,” terangnya.
Majelis Hakim memberikan waktu 14 hari kepada pemohon untuk melakukan perbaikan. Sidang berikutnya mengagendakan pemeriksaan perbaikan permohonan. (Lulu Anjarsari/IR)