Penggabungan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) menjadi Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI) akan menyebabkan KKI yang seharusnya berfungsi sebagai regulator menjadi tidak independen. Hal ini disampaikan oleh Praktisi Kedokteran Gigi Indonesia Zaura Kiswarina ketika menjadi ahli yang diajukan oleh para Pemohon perkara pengujian Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (UU Tenaga Kesehatan). Sidang dengan agenda mendengar keterangan ahli tersebut digelar pada Rabu (30/9), di Ruang Sidang MK.
Menurut Zaura, KTKI yang merupakan hasil bentukan dari UU Tenaga Kesehatan hanya berfungsi sebagai koordinator, yang mana berbeda dengan KKI yang juga berfungsi sebagai regulator. “KKI melakukan regulasi dokter langsung kepada masyarakat, ada kedekatan antara profesi pengampuannya, pembinaannya, dan juga pengawasannya bersama-sama dilakukan oleh masyarakat tanpa adanya keharusan untuk diinterupsi,” terangnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat tersebut.
Lebih lanjut Zaura menambahkan, apabila konsil-konsil yang sudah ada digabungkan ke dalam suatu wadah koordinator maka akan menyebabkan tidak adanya independensi. Hal ini dikarenakan, KTKI menjadi perpanjangan tangan dari administrasi pemerintahan yang memang pada akhirnya akan bertanggung jawab pada Presiden melalui birokrasi Kementerian Kesehatan. Hal inilah yang dinilai Pemohon akan menimbulkan tidak independennya KTKI.
“Apabila masing-masing dari konsil ini sifatnya independen, maka mereka masing-masing juga bisa dan boleh mengeluarkan aturannya masing-masing sesuai bidang kesehatan itu,” tambahnya.
Selain itu, lanjutnya, dengan menggabungkan profesi, vokasi, dan jalur akademik S1, S2, S3 dalam suatu wadah konsil profesi, hal tersebut akan menyebabkan ketidakjelasan hakikat dan kekhususan dari profesi masing-masing tenaga kesehatan, terutama profesi dokter. Apalagi, jelas Zaura, konsil profesi merupakan captain of the team yang seyogyanya mempunyai kewenangan dalam membuat penilaian klinis yang professional. “Jadi, ketidakjelasan antara batasan batas profesional medis dan vokasi kesehatan semakin rancu dengan adanya UU Tenaga Kesehatan ini,” paparnya.
Hal serupa juga disampaikan oleh Yusuf Shofie dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Menurutnya, keberadaan KTKI membuat capaian-capaian KKI, baik Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi menjadi tidak jelas. Padahal KKI telah mencapai hasil terbaik dalam menjaga dan meningkatkan mutu layanan tenaga medis dokter atau dokter gigi demi memberikan perlindungan hukum pada konsumen/pasien. “Diragukan independensi pembentukan dan kerja KTKI, sementara selama ini KKI telah bekerja secara independen dan profesional tanpa campur tangan birokrasi demi memberikan perlindungan yang seimbang bagi tenaga medis dan konsumen/pasien,” jelas Yusuf, ahli yang juga dihadirkan Pemohon.
Sebelumnya, para Pemohon dalam perkara yang teregistrasi dengan nomor 82/PUU-XIII/2015 ini yaitu Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PB PDGI), Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), dkk. Dalam pokok permohonannya, para Pemohon merasa terlanggar dengan beberapa pasal dalam UU Tenaga Kesehatan. Di antaranya Pasal 1 angka 1 dan angka 6; Pasal 11 ayat (1) huruf a dan huruf m; Pasal 11 ayat (2) dan ayat (14); Pasal 12; Pasal 21 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6); Pasal 34 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (5), yang mengatur mengenai tenaga kesehatan. Selain itu, para Pemohon juga mempersoalkan konstitusionalitas Pasal 35; Pasal 36; Pasal 37; Pasal 38; Pasal 39; Pasal 40; Pasal 41; Pasal 42; Pasal 43; Pasal 90; serta Pasal 94, yang mengatur Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI).
Menurut para Pemohon, terdapat kesalahan konsepsional dan paradigmatik mengenai tenaga medis dalam UU Tenaga Kesehatan. Alasannya, UU Tenaga Kesehatan seharusnya membedakan antara tenaga profesi di bidang kesehatan (dokter dan dokter gigi) dengan tenaga vokasi (misalnya teknisi gigi).
Selain itu, para Pemohon juga menggugat ketentuan yang mengatur mengenai pembentukan KTKI. Menurut Pemohon, peleburan Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi ke dalam KTKI telah menurunkan derajat para dokter. Berdasarkan UU Tenaga Kesehatan, KTKI tidak memiliki fungsi pengawasan, penegakan disiplin dan penindakan tenaga kesehatan. Para Pemohon menilai, KTKI sebagai pengganti KKI telah kehilangan independensinya, sebab saat ini KTKI tidak lagi bertanggung jawab langsung kepada Presiden melainkan melalui Menteri Kesehatan. (Lulu Anjarsari/IR)