Mahkamah Konstitusi (MK) melakukan judicial review UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran (UU PK) terhadap UUD 1945, pada hari Rabu, 21 Februari 2007, pukul 10.00 WIB di ruang sidang MK, Jalan Medan Merdeka Barat No. 7, Jakarta Pusat, dengan agenda pemeriksaan pendahuluan. Sidang Panel pendahuluan ini dipimpin oleh Hakim Konstitusi Prof. H.A.S. Natabaya, S.H., L.LM., dengan anggota I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H., dan Soedarsono, S.H.
Perkara yang diregistrasi pada hari Senin tanggal 5 Februari 2007 dengan nomor 4/PUU-V/2007 ini dimohonkan oleh dr. Isfandyarie Sarwono, Sp.An., S.H., seorang dokter asal Kota Malang. Hadir dalam sidang tersebut, Pemohon dan Kuasa Hukum Pemohon, Sumali, S.H., M.H. dan Sumardhan, S.H.
Pemohon memperkarakan beberapa pasal dalam UU PK, khususnya Pasal 37 ayat (2), yang memuat ketentuan pembatasan pemberian Surat Ijin Praktek (SIP) hanya diberikan bagi dokter dan dokter gigi pada tiga tempat, sehingga dokter atau dokter gigi tidak dapat menjalankan kewajiban sesuai dengan profesinya. Padahal, menurut Pemohon, kebutuhan masyarakat akan kemudahan pelayanan kesehatan masih sangat tinggi. Pemohon juga menyampaikan bahwa ketentuan tersebut membuat para dokter merasa senantiasa terancam apabila mereka menjalankan tugasnya sebagai dokter tidak pada rumah sakit atau tempat praktek yang sesuai dengan ijin praktek profesinya, sementara setiap dokter terikat dalam sumpah profesinya untuk siap setiap saat menolong siapa saja dan di mana saja yang membutuhkan bantuan medis.
Untuk itu, Pemohon meminta Majelis Hakim Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 29 ayat (1), Pasal 36, Pasal 37 ayat (2), Pasal 73 ayat (1), ayat (2), ayat (3), Pasal 75 ayat (1), Pasal 76, Pasal 77, Pasal 78, dan Pasal 79 huruf a UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran bertentangan dengan Pasal 28 C ayat (1), Pasal 28 D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28 G ayat (1), Pasal 28 H ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28 I ayat (1) dan ayat (2), Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 serta menyatakan materi muatan pada pasal-pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dalam sidang ini, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna memberikan saran kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonannya dengan lebih merinci pasal-pasal yang bertentangan dengan pasal-pasal pada UUD 1945 serta memberikan argumentasinya. Selain itu, Pemohon juga diminta untuk memfokuskan kerugian konstitusional kepada hanya yang diderita oleh Pemohon, bukan orang lain seperti yang banyak disampaikan pada permohonan. Saran yang sama juga disampaikan oleh Ketua panel Hakim, Prof. Natabaya. Sementara anggota Panel Hakim yang lain, Soedarsono, S.H., mempertanyakan mengapa bukan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang mengajukan permohonan.
Pemohon diberikan kesempatan selama 14 hari untuk memperbaiki permohonannya dan menyertakan seluruh alat-alat bukti secara tertulis sekaligus juga menyiapkan para saksi dan ahli yang nantinya akan diajukan pada persidangan berikutnya. Sebelum sidang panel ditutup, Kuasa Hukum Pemohon juga meminta ijin kepada Panel Hakim untuk memasukkan Pemohon baru dalam berkas permohonan. Hadir pada persidangan pendahuluan ini juga Ketua IDI Jawa Timur yang direncanakan juga akan menjadi Pemohon. (ardli)