Kuasa Hukum Pemohon Otto Cornelis Kaligis menyampaikan perbaikan permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) dalam sidang yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (29/9), di Ruang Sidang Pleno MK. Muhammad Ruliandi selaku kuasa hukum Pemohon menyatakan telah memperbaiki permohonan dengan mengkaitkan rumusan norma dengan kerugian konstitusional yang dialami.
Ruliandi melanjutkan, terhadap pasal yang diujikan, yakni Pasal 1 angka 2 KUHAP dan Pasal 45 ayat (1) UU KPK, terdapat penegasan konstitusionalitas norma yang bersifat argumen teoritis, baik dari segi perpektif hukum tata negara, teori perundang-undangan dan teknik penyusunan undang-undang. Menurut Ruliandi, pihaknya mengharapkan perbaikan ini menjadikan permohonan menjadi lebih terang.
Pada bagian petitum, pihaknya memperbaiki bagian redaksional dalam rangka memberikan tafsir konstitusionalitas. Ruliandi pun menyatakan bahwa secara garis besar, perbaikan permohonan lebih pada mengaitkan permohonan Pemohon dengan perlindungan HAM. “Kami menguraikan konsep due process of law dengan mengkaitkan prinsip HAM dan dalam proses peradilan pidana. Konsep ini kami kutip dari pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam perkara No. 21 Tahun 2014 dalam pengujian undang-undang, yakni due process of law sebagai wujud pengakuan HAM dalam proses peradilan pidana menjadi asas yang harus dijunjung tinggi oleh semua pihak, terutama bagi lembaga-lembaga penegak hukum, yakni dengan memberi posisi yang sama termasuk dalam proses peradilan pidana khususnya bagi tersangka terdakwa dan terpidana terutama dalam mempertahankan hak-haknya secara seimbang,” papar Ruliandi.
Sebagaimana diketahui, OC Kaligis telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi suap hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan. Pemohon mendalilkan, tindakan KPK dalam melakukan penangkapan terhadap dirinya tanpa disertai surat penangkapan dan bahkan langsung menetapkannya sebagai tersangka tanpa didahului adanya Surat Perintah Penyidikan atau Sprindik. Menurutnya, tindakan KPK ini didasari oleh Pasal 1 angka 2 KUHAP khususnya frase “ serangkaian tindakan penyidik” yang dianggap Pemohon multitafsir.
Pasal 1 angka 2 KUHAP menyatakan:
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Selain menggugat KUHAP, Pemohon juga mengajukan uji materi terhadap UU KPK, khususnya Pasal 45 ayat (1) yang dianggap tidak mengatur secara tegas bahwa penyidik KPK berhak melakukan penyidikan dalam kasus yang ditangani KPK. Hal ini dikarenakan penyidik KPK merupakan penyidik independen.
Pasal 45 ayat (1) KPK menyatakan:
Penyidik adalah penyidik pada komisi pemberantasan korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh komisi pemberantasan korupsi. (Julie/IR)