Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI) yang dimohonkan oleh lima orang pekerja. Putusan nomor 68/PUU-XIII/2015 tersebut mewajibkan mediator yang membantu penyelesaian perselisihan hubungan industrial untuk menerbitkan risalah hasil mediasi.
“Mengadili, menyatakan mengabulkan permohonan para Pemohon,” ujar Ketua MK Arief Hidayat saat membacakan amar putusan dengan didampingi delapan Hakim Konstitusi lainnya, di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Selasa (29/9).
Menurut Mahkamah, Pasal 13 ayat (2) huruf a UU PPHI tidak memberikan kepastian hukum. Sebab, dalam ketentuan tersebut tidak ada pengaturan mengenai kewenangan mediator maupun konsiliator menerbitkan risalah penyelesaian mediasi atau risalah penyelesaian konsiliasi dan waktu penerbitannya. “Pasal a quo tidak memberikan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum bagi para Pemohon sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” ujar Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul membacakan pertimbangan hukum.
Mahkamah menjelaskan, anjuran tertulis bukan syarat formil dalam pengajuan gugatan di Pengadilan Hubungan Industrial, sedangkan risalah penyelesaian mediasi atau konsiliasi merupakan syarat formil. Sebab, menurut ketentuan Pasal 83 ayat (1) UU PPHI, apabila gugatan tidak dilampiri risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi, Hakim Pengadilan Hubungan Industrial wajib mengembalikan gugatan kepada penggugat.
Terlebih, penyelesaian perkara hubungan industrial harus terlebih dahulu melalui jalan mediasi atau konsiliasi karena ketentuan ini bersifat imperative (wajib). “Sehingga, penggugat harus memperoleh bukti berupa risalah penyelesaian mediasi atau risalah penyelesaian konsiliasi sebelum mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial,” tegas Manahan.
Oleh karena itu, frasa “anjuran tertulis” dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a UU PPHI bertentangan dengan UUD1945, sepanjang tidak dimaknai “dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi, maka mediator mengeluarkan anjuran tertulis dalam bentuk risalah penyelesaian melalui mediasi”. Demikian juga dengan Pasal 23 ayat (2) huruf a UU PPHI, bertentangan dengan UUD 1945, sepanjang tidak dimaknai “dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui konsiliasi, maka konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis dalam bentuk risalah penyelesaian melalui konsiliasi”.
Format Risalah
Karena format dan substansi risalah penyelesaian dalam mediasi atau konsiliasi tidak diatur dalam UU PPHI, Mahkamah menyatakan format dan substansi yang dapat digunakan adalah ketentuan yang mengatur tata cara penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui bipartit yang terdapat dalam Pasal 6 UU PPHI yang menyatakan,
“(1) Setiap perundingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 harus dibuat risalah yang ditandatangani oleh para pihak;
(2) Risalah perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:
a. nama lengkap dan alamat para pihak;
b. tanggal dan tempat perundingan;
c. pokok masalah atau alasan perselisihan;
d. pendapat para pihak;
e. kesimpulan atau hasil perundingan; dan
f. tanggal serta tanda tangan para pihak yang melakukan perundingan”.
Sebelumnya, Pemohon yang terdiri dari lima orang pekerja mengatakan UU PPHI mengatur bahwa Pengadilan Hubungan Industrial hanya dapat diselenggarakan apabila dilampirkan risalah penyelesaian mediasi dan konsiliasi sebagaimana ketentuan Pasal 83 ayat (1) UU PPHI. Namun ternyata, Pasal 13 ayat (2) huruf a dan Pasal 23 ayat (2) huruf a UU PPHI hanya memberikan kewenangan kepada mediator atau konsiliator untuk membuat anjuran.
“Konsep alternatif penyelesaian sengketa melalui mediasi dan konsiliasi yang diatur dalam Undang-Undang PPHI, faktanya tidak menimbulkan mediasi yang memfasilitasi para pihak yang bersengketa untuk dapat berunding, karena pegawai mediator menjadi figur sentral yang diberikan kewenangan untuk membuat anjuran yang seolah-olah kuasi putusan vonis hakim dan terkesan hanya menjadi tiket untuk mengajukan gugatan ke PHI, padahal pada ranah hukum mediasi tidak mengenal anjuran,” jelas Pemohon. (Lulu Hanifah/IR)