Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 (UU Pilkada) yang dimohonkan oleh Akademisi Effendi Gazali. Dalam putusan tersebut, MK menyatakan Pilkada yang hanya diikuti oleh satu pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat dilaksanakan apabila telah diusahakan dengan sungguh-sungguh terpenuhinya syarat paling sedikit dua pasangan calon. Untuk itu, Pilkada tidak lagi semata-mata digantungkan pada keharusan paling sedikit adanya dua pasangan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah.
“Mengadili, menyatakan mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian,” ujar Ketua MK Arief Hidayat mengucapkan amar putusan nomor 100/PUU-XIII/2015, dengan didampingi delapan hakim konstitusi lain di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Selasa (29/9).
Menurut Mahkamah, dalam UU Pilkada, tampak bahwa pembentuk Undang-Undang ingin kontestasi Pilkada setidaknya diikuti dua pasangan calon. Namun, pembentuk Undang-Undang tidak memberikan jalan keluar apabila syarat paling kurang dua pasangan calon tersebut tidak terpenuhi. “Dengan demikian, akan ada kekosongan hukum manakala syarat paling kurang dua pasangan calon tersebut tidak terpenuhi. Kekosongan hukum itu akan berakibat pada tidak dapat diselenggarakannya Pemilihan Kepala Daerah,” jelas Hakim Konstitusi Suhartoyo membacakan pertimbangan hukum.
Mahkamah mengimbuhkan, adanya kekosongan hukum tersebut telah mengancam tidak terlaksananya hak hak rakyat untuk dipilih dan memilih karena dua alasan. Pertama, penundaan ke Pemilihan serentak berikutnya sesungguhnya telah menghilangkan hak rakyat untuk dipilih dan memilih pada Pemilihan serentak saat itu. Kedua, apabila penundaan demikian dapat dibenarkan, tetap tidak ada jaminan bahwa pada Pemilihan serentak berikutnya itu, hak rakyat untuk dipilih dan memilih akan dapat dipenuhi. Pasalnya, penyebab tidak dapat dipenuhinya hak rakyat untuk dipilih dan memilih itu tetap ada, yaitu ketentuan yang mempersyaratkan paling sedikit adanya dua pasangan calon dalam kontestasi Pilkada.
Oleh karena itu, menurut Mahkamah, Pilkada yang ditunda sampai pemilihan berikutnya hanya karena tak terpenuhinya syarat paling sedikit dua pasangan calon bertentangan dengan UUD 1945. “Demi menjamin terpenuhinya hak konstitusional warga negara, pemilihan Kepala Daerah harus tetap dilaksanakan meskipun hanya terdapat satu pasangan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah, setelah sebelumnya diusahakan dengan sungguh-sungguh untuk mendapatkan paling sedikit dua pasangan calon,” tegas Suhartoyo.
Mekanisme Pemilihan
Mahkamah memutuskan, keikutsertaan calon tunggal dalam Pilkada dapat dilakukan jika telah diusahakan dengan sungguh-sungguh untuk terpenuhi syarat paling sedikit dua pasangan calon. Hal ini berarti penyelenggara telah melaksanakan ketentuan yang terdapat pasa Pasal 49 ayat (1) sampai dengan ayat (9) UU Pilkada (untuk pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur) dan ketentuan Pasal 50 ayat (1) sampai dengan ayat (9) UU Pilkada (untuk pemilihan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota).
Setelah itu, dilakukan proses seperti referendum, yakni jika hanya ada satu pasangan calon, maka dilakukan proses untuk meminta kepada rakyat (pemilih) untuk menyatakan “Setuju” atau “Tidak Setuju” dalam surat suara, terhadap calon tunggal tersebut. Apabila pilihan “Setuju” memperoleh suara terbanyak maka pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dimaksud ditetapkan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih, sedangkan apabila pilihan “Tidak Setuju” memperoleh suara terbanyak maka pemilihan ditunda sampai Pemilihan Kepala Daerah serentak berikutnya.
“Penundaan demikian tidaklah bertentangan dengan konstitusi sebab pada dasarnya rakyatlah yang telah memutuskan penundaan itu melalui pemberian suara “Tidak Setuju” tersebut,” jelas Suhartoyo.
Agar proses tersebut dapat dijalankan, maka ketentuan Pasal 49 ayat (9) UU Pilkada yang menyatakan, “KPU Provinsi membuka kembali pendaftaran pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur paling lama 3 (tiga) hari setelah penundaan tahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (8)” harus dimaknai “termasuk menetapkan satu pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur peserta Pemilihan dalam hal setelah jangka waktu 3 (tiga) hari dimaksud telah terlampaui namun tetap hanya ada satu pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur”. Pemaknaan yang sama juga berlaku untuk ketentuan Pasal 50 ayat (9) yang mengatur pembukaan kembali pendaftaran calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota. Demikian juga dengan pasal terkait lainnya, yakni Pasal 51 ayat (2) dan Pasal 52 ayat (2) UU Pilkada.
Namun, Putusan nomor 100/PUU-XIII/2015 ini diwarnai adanya pendapat berbeda dari Hakim Konstitusi Patrialis Akbar. Menurutnya, keberadaan Calon tunggal pada dasarnya meniadakan kontestasi. Sedangkan Pemilu tanpa kontestasi hakikatnya bukan Pemilu yang senafas dengan asas Luber dan Jurdil. Hak-hak untuk memilih dan hak untuk dipilih akan terkurangi dengan adanya calon tunggal karena pemilih dihadapkan pada pilihan artifisial (semu).
Sedangkan terhadap pengujian norma yang sama dengan nomor perkara yang berbeda, yakni perkara nomor 95/PUU-XIII/2015 yang dimohonkan warga Surabaya dan perkara nomor 96/PUU-XIII/2015 yang dimohonkan Calon Wakil Walikota Surabaya Wisnu Sakti Buana, Mahkamah menyatakan kedua permohonan tersebut tidak dapat diterima.
Dalam pertimbangannya, Mahkamah menilai argumentasi tentang kerugian hak konstitusional para Pemohon didasarkan pada keadaan aktual pada saat permohonan diajukan, yaitu tidak adanya paling sedikit 2 (dua) pasangan calon Walikota dan calon Wakil Walikota Surabaya. Namun, saat permohonan a quo diputus, keadaan sebagaimana didalilkan para Pemohon telah berubah. Syarat paling sedikit 2 (dua) pasangan calon tersebut telah terpenuhi, sebagaimana diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Surabaya yang tertuang dalam Keputusan KPU Kota Surabaya Nomor 36/Kpts/KPU-Kota-014.329945/2015 tentang Penetapan Pasangan Calon Dalam Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Surabaya Tahun 2015, tanggal 24 September 2015.
Oleh karena itu, Mahkamah memandang dalil kerugian hak konstitusional para Pemohon menjadi tidak relevan lagi sehingga para Pemohon kehilangan kedudukan hukum (legal standing)-nya sebagai Pemohon dalam permohonan a quo. (Lulu Hanifah/IR)