Sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) kembali digelar MK. Sidang perkara dengan Nomor 110/PUU-XIII/2015 yang dimohonkan oleh Otto Cornelis Kaligis ini digelar pada Selasa (29/9), di Ruang Sidang MK.
Diwakili oleh kuasa hukumnya Muhammad Ruliandi, Pemohon memperbaiki beberapa poin dalam permohonannya, terutama dengan memperjelas alasan permohonan. “Sedikit perubahan-perubahan yang sifatnya tidak substansial tetapi dalam rangka mempertegas permasalahan norma hukum dan juga menambah beberapa argumen-argumen sehingga menjadi lebih terang terhadap konstitusionalitas atau norma hukum yang kami uji sebagai objek permohonan ini,” urai Ruliandi di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo.
Menurut Ruliandi, kerugian konstitusional yang dialami oleh Pemohon merupakan akibat keberlakuan norma hukum yang tidak jelas. Ia menjelaskan, kondisi-kondisi faktual yang spesifik merupakan rangkaian yang tidak terpisahkan sebagai bukti adanya norma hukum yang tidak menjamin hak-hak perlindungan hukum kepada Pemohon ketika dimulainya proses penyidikan oleh KPK. Adanya permasalahan dalam fakta, lanjut Ruliandi, telah membuktikan adanya norma hukum yang bersifat multitafsir. Untuk itu, ada ruang penfasiran subjektif oleh penegak hukum.
“Kami memaparkan dalam permohonan ini terhadap persoalan fakta, merupakan akibat kausalitas verband, hubungan kausalitas, sebab-akibat terhadap norma hukum yang bersifat multitafsir, tidak terdapat kejelasan rumusan norma hukum. Karena itulah, penafsiran subjektif oleh penegak hukum menjadi ruang,” jelasnya.
Untuk itulah, lanjut Ruliandi, Pemohon juga mengubah petitum permohonannya. Jika sebelumnya Pemohon meminta MK membatalkan keseluruhan Pasal 46 ayat (2) UU KPK, maka diperbaikan permohonan, Pemohon meminta pasal tersebut dinyatakan inkonstitusional bersyarat. “Pasal 46 ayat (2) a quo sepanjang frasa ‘pemeriksaan tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tidak mengurangi hak-hak tersangka’ bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai ‘termasuk hak penangguhan penahanan yang dijamin oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Acara Hukum Pidana’. Jadi, ada perubahan redaksional pada bagian petitum yang sifatnya mempertegas, memperinci hak tersangka tersebut, yang kami juga memperhatikan saran-saran Majelis pada sidang sebelumnya,” tandasnya.
Pemohon yang merupakan terdakwa kasus dugaan tindak pidana korupsi suap hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan tersebut merasa hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya ketentuan Pasal 46 ayat (2) UU KPK. Pasal 46 ayat (2) UU KPK menyatakan “Pemeriksaan tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan tidak mengurangi hak-hak tersangka”. Pemohon menilai, Pasal 46 ayat (2) UU KPK bertujuan untuk memberikan jaminan perlindungan hak-hak tersangka. Namun ternyata, ketentuan tersebut tidak menjabarkan lebih lanjut mengenai uraian hak-hak tersangka, khususnya terkait dengan hak untuk mengajukan penangguhan penahanan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Padahal menurut Pemohon, Indonesia sebagai negara hukum yang menganut prinsip asas kepastian dan perlindungan, harus memberikan jaminan hak konstitusional terhadap seseorang yang masih berstatus sebagai tersangka. Pemohon kemudian berpendapat, ketentuan Pasal 46 ayat (2) UU KPK berpotensi membatasi hak-hak tersangka karena dapat ditafsirkan secara luas, terlebih apabila penafsiran dilakukan dengan kepentingan politik. (Lulu Anjarsari/IR)