Melalui fasilitas video conference (vicon) yang terhubung antara Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) dengan Fakultas Hukum Universitas Andalas (Unand) Padang, Saldi Isra menyatakan Lampiran CC angka 5, Sub-Urusan Ketenagalistrikan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) tidak memenuhi syarat kepastian hukum. Hal tersebut disampaikan Saldi selaku ahli yang dihadirkan Pemohon pada sidang perkara pengujian UU Pemda yang dimohonkan Bupati Kabupaten Kutai Barat Ismail Thomas, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Kutai Barat Jackson John Tawi, dan Ketua Presidium Dewan Adat Kabupaten Kutai Barat Yustinus Dullah, Senin (28/9).
Pernyataan Saldi tersebut disampaikan terkait dengan permohonan para Pemohon yang menyatakan Lampiran CC angka 5, Sub-Urusan Ketenagalistrikan UU Pemda tidak memberikan kepastian hukum bagi Kabupaten Kutai Barat untuk melakukan pengelolaan persoalan listrik di daerahnya. Ketentuan dalam Lampiran Sub-Urusan Ketenagalistrikan UU Pemda yang hanya mengatur kewenangan ‘pemerintah pusat’ dan ‘pemerintah daerah provinsi’ dalam hal ketenagalistrikan, dianggap telah merugikan para Pemohon, karena menghapuskan kewenangan ‘pemerintah daerah kabupaten/kota’.
Padahal menurut Pemohon, Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan (UU Ketenagalistrikan) memberikan kewenangan kepada kabupaten/kota untuk mengatur mengenai ketenagalistrikan. Dengan adanya ketentuan tersebut, Pemohon yang bermaksud membangun pembangkit tenaga listrik dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam yang ada merasa terjegal langkahnya. Untuk itu, Pemohon meminta kepada Mahkamah agar Lampiran CC angka 5 Sub-Urusan Ketenagalistrikan dari UU Pemda dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Saldi pun sependapat dengan Pemohon dengan menyatakan bahwa ketentuan yang terdapat dalam Lampiran CC angka 5 Sub-Urusan Ketenagalistrikan UU Pemda tidak memberi kepastian hukum. Melalui paparannya, Saldi menjelaskan apa saja syarat suatu peraturan perundang-undangan telah memenuhi asas kepastian hukum.
Kehadiran Lampiran CC angka 5 Sub-Urusan Ketenagalistrikan UU Pemda menurut Saldi menjadi semacam kontradiksio in terminis dengan salah satu ruh yang tertera dalam Penjelasan Umum UU Pemda. Dalam Penjelasan Umum UU Pemda dinyatakan bahwa pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. Namun, ketentuan yang diujikan tersebut justru menghilangkan kewenangan kabupaten/kota dalam hal ketenagalistrikan.
“Jikalau dibaca dengan cermat konsideran menimbang huruf d Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 dan Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 di atas, dikaitkan dengan persoalan ketenagalistrikan yang dihadapi negara kita, dapat dikatakan agak jauh dari logika untuk dapat menerima hilangnya kewenangan kabupaten/kota dalam masalah ketenagalistrikan,” jelas Saldi.
Susbtansi UU
Mengutip pendapat Pakar Sosiologi Hukum Amerika Serikat, Oliver Wendell yang menyatakan “the life of the law is not been logic, it has been experience”, Saldi menegaskan substansi yang terdapat dalam UU Ketenagalistrikan justru lebih dibenarkan bila melihat pengalaman hidup dan kebutuhan masyatakan saat ini. Artinya, Lampiran CC angka 5, Sub Ketenagalistrikan UU Pemda tetap harus “tunduk” pada pemenuhan kebutuhan masyarakat akan ketersediaaan listrik, seperti halnya substansi dalam UU Ketenagalistrikan maupun substansi dalam Penjelasan Umum UU Pemda.
“Berkaca dari bentangan fakta yang ada sejauh ini tentu saja pengalaman dan kebutuhan sekarang akan lebih membenarkan adanya atau bertahannya substansi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 ihwal Ketenagalistrikan. Dalam hal ini kabupaten/kota menjadi lebih baik, tetap disediakan ruang untuk dapat berperan dalam soal ketenagalistrikan,” urai Saldi.
Bilamana hendak ditelusuri lebih jauh, lanjut Saldi, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3) memang memberikan peluang sebuah undang-undang memuat lampiran. Menurut Saldi, UU P3 juga menyatakan bahwa lampiran sebuah undang-undang dinyatakan dalam batang tubuh dan bukan merupakan bagian terpisah dari undang-undang dimaksud. Saldi melanjutkan, UU Ketenagalistrikan telah memberikan kewenangan kepada kabupaten/kota dalam hal ketenagalistrikam, namun norma itu daya berlakunya dicabut dengan sebuah lampiran undang-undang, yakni Lampiran CC Angka 5 Sub Urusan Ketenagalistrikan UU Pemda. Hal ini yang menurutnya dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.
“Pertanyaan dalam bentuk gugatan ini menjadi begitu penting dikarenakan secara struktur lampiran berada di posisi paling bawah dari struktur peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini, apabila dikaitkan dengan permohonan Pemohon ini, hilangnya ruang atau wewenang kabupaten/kota dalam ihwal ketenagalistrikan hanya dapat dibaca dengan hilangnya wewenang tersebut dalam Lampiran CC Angka 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Padahal wewenang tersebut diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009. Bagaimana mungkin norma dihilangkan dengan hanya memberlakukan atau memunculkan dalam lampiran sebuah undang-undang. Karena itu, modal pencabutan daya laku atau keberlakuan substansi satu undang-undang dengan hanya melalui lampiran dapat menimbulkan ketidakpastian hukum,” tukas Saldi.
Usai mendengar penjelasan ahli, para pihak dalam persidangan melemparkan beberapa pertanyaan yang kemudian dijawab kembali oleh Saldi. Di penghujung sidang, Ketua MK Arief Hidayat yang memimpin langsung persidangan Perkara No. 87/PUU-XIII/2015 itu menyampaikan bahwa sidang lanjutan akan diselenggarakan pada Rabu, 7 Oktober 2015, pukul 11.00 WIB dengan agenda mendengarkan keterangan DPR yang pada sidang sebelumnya berhalangan hadir. (Yusti Nurul Agustin/IR)