Sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (UU Rusun) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (28/9), di Ruang Sidang Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam sidang kedelapan tersebut, para Pemohon dijadwalkan menghadirkan saksi dan ahli, namun ahli dan saksi pemohon justru tidak dapat hadir karena ketiadaan transportasi.
“Kami sudah memasukkan nama ahli satu orang, yaitu Ahmad Zon Sinaga, S.H. Berkenaan, Yang Mulia, ada perkembangan mendadak, Ahli tersebut masih berada di Surabaya tidak bisa terbang ke Jakarta karena ketiadaan transportasi,” ujar Muhammad Joni, kuasa hukum Pemohon.
Akibat hal tersebut, Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat menunda sidang hingga 8 Oktober 2015 mendatang. Sidang tersebut diagendakan untuk mendengar keterangan ahli dari Pemohon sekaligus mendengar keterangan saksi dari Presiden. “Kalau begitu kita adakan kembali sidang hari Kamis, 8 Oktober 2015. Kamis, 8 Oktober 2015, pada pukul 11.00 WIB, untuk mendengar keterangan ahli dari Pemohon satu orang dan tiga orang saksi dari Presiden,” jelasnya.
Sebelumnya, empat orang pemilik rusun, yakni Eva Kristanti, Rusli Usman, Danang Surya Winata dan Ikhsan tercatat menjadi Pemohon dalam perkara Nomor 85/PUU-XIII/2015 ini. Dalam pokok permohonannya, para Pemohon merasa hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya beberapa pasal dalam UU Rusun, di antaranya Pasal 1 angka 21; Pasal 59 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4); Pasal 60; Pasal 74 ayat (1) dan ayat (2); Pasal 75 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4); Pasal 76; dan Pasal 77 ayat (2). Para Pemohon menganggap mengalami kerugian konstitusional dengan berlakunya beberapa ketentuan mengenai pembentukan Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (P3SRS) dalam UU Rusun.
Pemohon mendalilkan, kata “para” dalam frasa “para pemilik atau penghuni sarusun” di Pasal 1 angka 21 UU Rusun tidak jelas, menimbulkan ketidakpastian hukum, serta mengancam perlindungan harta benda dan hak milik pribadi para Pemohon yang dijamin dalam UUD 1945. Menurut Pemohon, penggunaan kata “para” dapat berarti hanya sebagian atau sebagian besar sehingga mengakibatkan tidak semua pemilik menjadi anggota P3SRS. Hal ini merugikan pemilik karena membuka celah bagi terbentuknya P3SRS lain, sehingga P3SRS tidak menjadi badan hukum tunggal dalam pengelolaan rumah susun/apartemen.
Kemudian, ada perbedaan dan ketidakkonsistenan norma antara Pasal 59 ayat (1) dengan Penjelasan Pasal 59 ayat (1) UU Rusun yang menentukan “masa transisi” adalah masa ketika sarusun belum seluruhnya terjual. Ketentuan yang tidak konsisten itu dianggap merugikan para Pemohon dan bertentangan dengan Pasal 59 ayat (2) UU Rusun yang menentukan bahwa masa transisi ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak penyerahan pertama kali. Pemohon juga menganggap, frasa “paling lama 1 (satu) tahun” menafikan tanggung jawab produk pelaku pembangunan, sehingga ketentuan Pasal 59 ayat (2) UU Rusun sepanjang frasa “paling lambat 1 (satu) tahun” adalah ketentuan yang tidak adil dan menjustifikasi lepasnya tanggung jawab pelaku pembangunan atas produknya. Untuk itulah, dalam petitumnya, para Pemohon meminta agar keseluruhan pasal yang diuji berlaku inskonstitusional bersyarat. (Lulu Anjarsari/IR)