ADA dua putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengejutkan. Pertama, pemeriksaan anggota DPR yang disangka melakukan tindak pidana harus mendapat izin tertulis dari presiden. Kewenangan perlindungan anggota DPR itu sebelumnya ada pada Majelis Kehormatan Dewan sebagaimana diatur UU Nomor 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Kedua, pemeriksaan terhadap anggota DPRD provinsi atas sangkaan melakukan pidana harus mendapat persetujuan menteri dalam negeri, sedangkan bagi anggota DPRD kabupaten/kota harus mendapat persetujuan gubernur. Putusan itu mengejutkan karena pada 26 September 2012 MK sudah membatalkan ketentuan dalam UU Pemerintah Daerah yang mengharuskan pemeriksaan kepala daerah mendapat izin presiden.
Putusan MK itu sebenarnya tidak berlaku untuk seluruh pidana. MK tidak menyentuh pasal pengecualian terhadap sejumlah pidana yang disebutkan dalam Pasal 245 ayat (3) UU 17/2014. Pasal yang dikecualikan itu ialah tertangkap tangan melakukan pidana; disangka melakukan pidana dengan ancaman hukuman mati atau seumur hidup atau pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Tindak pidana khusus yang dikecualikan, antara lain, korupsi, pencucian uang, dan narkotika.
Suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju, putusan MK itu sudah menjadi kekuatan hukum tetap yang berlaku sejak dibacakan Selasa (22/9). Kita saat ini cuma bisa berharap Presiden Joko Widodo tidak mempersulit, bila perlu proaktif terhadap pelaksanaan pemeriksaan anggota dewan, tanpa memedulikan asal partai, apakah partai pendukung atau oposisi.
Harus jujur dikatakan bahwa putusan MK telah memicu pro dan kontra. Pihak yang pro beralasan keberadaan rezim atau lembaga perizinan ialah untuk melindungi harkat, martabat, dan wibawa pejabat negara dan lembaga negara agar diperlakukan secara hati-hati, cermat, dan tidak sewenang-wenang. Kemuliaan pejabat negara sama dengan keluhuran sebuah negara.
Pihak yang kontra menyodorkan argumentasi bahwa putusan itu diskriminatif. Bukankah konstitusi mengamanatkan setiap warga negara bersamaan kedudukannya di muka hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya? Rezim perizinan juga dituding mengingkari asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan.
Jika benar keberadaan lembaga perizinan dimaksudkan untuk melindungi kemuliaan pejabat dan lembaga negara, mestinya ia tak berlaku diskriminatif. Semua pejabat negara diberi perlindungan, termasuk presiden dan wakil presiden.
Sejauh ini, tidak hanya MPR, DPR, DPD, DPRD, dan kepala daerah yang dilindungi lembaga perizinan. Izin presiden juga berlaku untuk hakim Mahkamah Agung dan MK, anggota Komisi Yudisial, anggota Badan Pemeriksa Keuangan, dan anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia.
Ironisnya, tidak semua pejabat negara dilindungi lembaga perizinan. Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi misalnya. Penangkapan Wakil Ketua nonaktif KPK Bambang Widjojanto beberapa waktu lalu tanpa perlu minta izin presiden.
Lebih ironis lagi, belum ada satu pun ketentuan perundang-undangan yang mengharuskan adanya izin sebelum memeriksa presiden dan wapres. Sungguh tidak masuk akal sehat sebab untuk pejabat setingkat atau beberapa tingkat di bawah presiden dan wapres diberlakukan prosedur izin, tetapi untuk presiden dan wapres tidak ada ketentuannya.
Sudah saatnya dibuatkan undang-undang yang di dalamnya mengatur soal pemeriksaan presiden dan wakil presiden. Atau, hapus semua lembaga perizinan sehingga tidak ada diskriminasi di antara pejabat negara dan semua warga negara diperlakukan sama di depan hukum.
Sumber: http://news.metrotvnews.com/read/2015/09/28/174294/diskriminasi-rezim-perizinan