Jakarta, Beritaempat - Pegiat hukum Maqdir Ismail meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait terkait Pasal 245 ayat 1, bahwa pemanggilan dan permintaan penyidikan terhadap anggota DPR yang melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari presiden. Dia mengatakan KPK bukan negara di dalam negara yang mempunyai otoritas penuh terhadap permasalahan hukum di Indonesia.
“Artinya, mereka (KPK-red) bukan sesuatu yang lebih dari negara,”kata Maqdir saat dikonfirmasi, Minggu (27/9).
Menurutnya, keputusan MK itu dibuat berdasarkan Undang-Undang Dasar (UUD) sehingga lembaga sekelas KPK pun harus mentaati produk putusan yang dibuat. Bagaimanapun juga, kata Maqdir, DPR mempunyai hak untuk mendapat legitimasi hukum dari negara, karena DPR dipilih langsung oleh rakyat. Untuk itu, putusan MK terkait penyidikan kepada anggota DPR, MPR, dan DPD yang harus mendapat persetujuan tertulis dari presiden penting untuk dilaksanakan.
“Ada kehormatan jabatan anggota DPR yang harus dijaga,” pungkas dia.
Sebelumnya, Pelaksana Tugas (Plt) Wakil Ketua KPK Indriyanto Seno Adji mengatakan bahwa putusan MK terkait judicial review di atas tidak berpengaruh pada KPK, sebab lembaga antikorupsi mengacu pada Undang-undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang pemberantasan korupsi. Artinya, KPK tetap mempunyai kewenangan menyelidiki, menyidiki, dan memeriksa anggota DPR, MPR, atau DPD berdasarkan aturan yang telah ada, dan tanpa harus ada izin tertulis dari presiden.
”Sepengetahuan kami, KPK terikat dengan UU KPK yang bersifat Specialis begitu pula dengan tata cara prosesualnya,” kata Indriyanto saat dikonfirmasi, Rabu (23/9).
Dia menegaskan, putusan MK hanya terikat pada tindak pidana umum bukan korupsi yang bagian tindak pidana khusus. Sehingga, kata Indriyanto, putusan MK di atas sama sekali tidak berdampak pada KPK. Meski demikian, KPK tetap akan menghormati putusan MK tersebut. Tetapi pada saatnya Indriyanto meminta ke sejumlah pihak yang berkepentingan agar menghormati bilamana terjadi perdebatan-perdebatan.
Sebagaimana diketahui, MK telah memutuskan bahwa penegak hukum harus mendapatkan izin presiden jika ingin memeriksa anggota DPR, MPR, dan DPD. Hakim Konstitusi menyebut bahwa frasa persetujuan tertulis pada Pasal 245 ayat 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum sepanjang tidak dimaknai persetujuan presiden.
”Pasal 245 ayat 1, selengkapnya menjadi pemanggilan dan permintaan keterangan tertulis untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari presiden,” ujar Ketua Arief Hidayat saat membacakan putusan di Gedung MK, Jakarta, Selasa (22/9).
Lebih dari itu, MK juga memutuskan frasa persetujuan tertulis pada Pasal 224 ayat 5 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 bertentangan dengan UUD 1945. Pasal ini dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum sepanjang tidak dimaknai persetujuan presiden.
Hakim Wahiduddin Adams mengatakan putusan di atas bukan hal baru. Pasalnya pemberian persetujuan dari presiden sebelumnya sudah diatur dalam Undang-Undang MK, Undang-Undang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Undang-Undang Mahkamah Agung (MA).
Hakim Konstitusi menilai Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) tidak tepat memberikan izin pemanggilan anggota dewan. MKD dianggap hanya bagian dari kelengkapan dewan, dan tidak berhubungan dengan sistem peradilan pidana. MK juga menilai pemberian izin oleh MKD dikhawatirkan sarat kepentingan. Sebab, anggota MKD merupakan bagian dari anggota dewan itu sendiri.
“Izin tertulis seharusnya berasal dari presiden, bukan dari Mahkamah Kehormatan Dewan,” kata Wahiduddin.
(Fathurrozi)