Mahkamah Konstitusi kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3), yang diajukan oleh sejumlah warga Papua, dengan agenda sidang memeriksa perbaikan permohonan para pemohon.
Kepada majelis Hakim Konstitusi yang dipimpin Ketua MK, Arief Hidayat, kuasa hukum Pemohon Siswadi mengatakan telah melakukan sejumlah perbaikan terhadap permohonan sesuai dengan nasihat yang diberikan oleh majelis Hakim Konstitusi pada sidang pendahuluan. “Bahwa pada permohonan kita awal, kita menggunakan beberapa pasal Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebagai batu uji. Namun pada perbaikan kali ini kita hanya menggunakan satu pasal dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebagai batu uji,” ujar Siswadi.
Lebih lanjut Siswadi menjelaskan bahwa pihaknya telah mempertegas apa yang dimohonkan, yakni adanya potensi pelanggaran terhadap hak-hak konstitusional para Pemohon jika Pasal 80 huruf j UU a quo direalisasikan dalam bentuk dana aspirasi anggota dewan.
Pemohon menerangkan, pihaknya juga telah melampirkan bukti tentang rancangan Peraturan DPR tentang tata cara pengusulan program pembangunan daerah pemilihan. Rancangan tersebut mencantumkan atau mengatur tentang usulan program secara tertulis kepada sekretaris jenderal DPR melalui sekretariat fraksi, yang kemudian dilakukan inventarisasi terhadap anggota yang mengusulkan dan didaftarkan sebagai usulan. “Nah, ini yang kita, Pemohon anggap bahwa ini secara potensial Pemohon hak-hak konstitusinya terlanggar, Yang Mulia,” kata Siswadi.
Sebelumnya, sejumlah warga Papua yakni Abraham Pelamonia, Yosep Adi, Isay Wenda, Samuel Fruaro, Hasael Ayub Wombay, dan Echletus Jefry Maximus Sawaki, mengajukan permohonan pengujian UU MD3 ke MK. Para Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 80 huruf J UU MD3 terkait hak DPR untuk mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan (Dapil) atau lebih dikenal dengan dana aspirasi. Lebih lengkap, Pasal 80 huruf j UU MD3 menyatakan ‘Anggota DPR berhak (j) mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan’.
Pemohon menilai ketentuan dalam pasal 80 huruf j UU MD3 tersebut bertentangan dengan prinsip ‘perwakilan rakyat’. Menurut para Pemohon, dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, prinsip keterwakilan rakyat dilaksanakan melalui representasi partai politik di parlemen sebagaimana diatur dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945. Dalam ketentuan Konstitusi tersebut dinyatakan bahwa peserta pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah partai politik. Namun, Pasal 80 huruf j UU MD3 telah membuat membuat representasi rakyat berubah, dari representasi rakyat melalui partai politik menjadi representasi dapil. Hal inilah yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam persidangan perdana, para Pemohon menyebut perubahan representasi dapil mempengaruhi pembagian dana aspirasi. Pemohon kemudian menyimulasikan pembagian dana aspirasi, di mana satu dapil (satu anggota DPR) minimal menerima dana aspirasi sebesar Rp20 Milyar yang dinilai akan merugikan masyarakat Papua dan hanya menguntungkan masyarakat pulau Jawa, karena Papua hanya diwakili 10 kursi. Dengan argumentasi itu para pemohon meminta kepada majelis Hakim Konstitusi untuk menyatakan ketentuan tersebut bertentangan dengan Konstitusi. (Ilham WM)