Para peserta Pusat Pelatihan Manajemen dan Kepemimpinan Pertanian (PPMKP) Kementerian Pertanian (Kementan) berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (23/9) siang. Panitera Pengganti MK, Hani Adhani menerima kunjungan tersebut dan menyampaikan materi mengenai “Hukum Acara Mahkamah Konstitusi”.
Hani menjelaskan, mereka yang boleh mengajukan permohonan berperkara di MK ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 yang berbunyi, “Perorangan warganegara Indonesia; Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang; Badan Hukum Publik atau Privat; atau Lembaga Negara.”
Mengenai syarat-syarat mengajukan permohonan berperkara di MK, Hani menyebutkan, “Di antaranya, pemohon harus memiliki Kartu Tanda Penduduk dan melampirkan photo copy pasal-pasal dari Undang-Undang yang diuji. Selain itu pengajuan permohonan ditulis dalam bahasa Indonesia, ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya, diajukan dalam 12 rangkap, menunjukkan jenis perkara, sistematika, disertai bukti pendukung,” papar Hani.
Selanjutnya, ungkap Hani, semua berkas permohonan yang sudah lengkap bisa diregistrasi dan MK akan mengeluarkan akta registrasi kepada pemohon. Setelah itu pemohon tinggal menunggu panggilan untuk sidang di MK melalui juru panggil. “Penjadwalan sidang adalah 14 hari setelah permohonan diregistrasi,” ucap Hani.
Kemudian barulah pemohon bisa mengikuti sidang di MK, mulai dari sidang pemeriksaan pendahuluan, sidang perbaikan permohonan, sidang pleno untuk mendengarkan keterangan pemerintah atau DPR, mendengarkan keterangan saksi atau ahli maupun pihak terkait.
“Kunci awalnya sebenarnya di sidang pemeriksaan pendahuluan. Hakim akan memberikan nasihat pada pemeriksaan pendahuluan. Misalnya, pemohon membuat permohonan sebanyak 5-10 halaman, lalu Panel Hakim akan mengkritisi mulai dari kedudukan hukum, pokok permohonan, dan sebagainya. Hakim punya kewajiban memberikan nasihat kepada pemohon terkait permohonannya,” urai Hani.
Lebih lanjut Hani menerangkan, ada perkara yang sangat cepat diputuskan dan ada perkara yang cukup lama diputuskan karena bobotnya berbeda. Seperti misalnya UU MD3 yang diajukan oleh anggota DPD, sekitar 9-16 bulan baru diputuskan.
“Saya membandingkan dengan MK di negara lain, ternyata memutus pengujian Undang-Undang tidak gampang. Di Turki pernah ada uji Undang-Undang yang baru diputus setelah dua tahun,” imbuh Hani.
Dalam pertemuan itu Hani juga menuturkan sejarah terbentuknya MK Republik Indonesia. Pada amandemen ketiga UUD 1945 tahun 2001 muncul gagasan membentuk Mahkamah Konstitusi di Indonesia sebagai lembaga peradilan yang transparan dan terpercaya.
“Keberadaan MK sebagai lembaga peradilan yang terpercaya dikaitkan dengan upaya mewujudkan tata kelola lembaga peradilan yang sesuai dengan ketentuan hukum dan prinsip keadilan,” kata Hani.
Hingga akhirnya Mahkamah Konsitusi Republik Indonesia dibentuk pada 13 Agustus 2003 yang memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban. Kewenangan pertama MK melakukan pengujian UU terhadap UUD. Kewenangan kedua MK, memutus sengketa kewenangan antara lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Kewenangan ketiga MK, menyelesaikan sengketa perselisihan hasil pemilihan umum. Kewenangan keempat MK, membubarkan partai politik. Sedangkan kewajiban MK adalah memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan atau Wakil Presiden menurut UUD. (Nano Tresna Arfana)