DOSEN Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh (Unimal) Lhokseumawe, Amrizal J Prang SH LLM mengingatkan semua pihak untuk berhati-hati jika ingin mengajukan judicial review (uji materi) terhadap pasal-pasal dalam Undang-undang Pemerintah Aceh (UUPA).
“Harus hati-hati, karena dalam UUPA ini ada beberapa pasal yang saling berkaitan. Jika tidak hati-hati dan teliti, bisa berakibat pada gugurnya pasal-pasal yang menyangkut kepentingan langsung rakyat Aceh,” kata Amrizal ketika dimintai tanggapannya terhadap upaya YARA mengajukan uji materi Pasal 205 UUPA, Kamis (17/9).
Kandidat doktor pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) Medan ini juga menyatakan belum sependapat dengan upaya YARA menggugat pasal yang mengatur tentang pengangkatan Kapolda dan Kajati Aceh. Menurutnya, ada alasan khusus kenapa kedua pasal ini dimasukkan dalam UUPA.
“Kalau melihat sejarah pembentukan UUPA, latar belakangnya karena sejarah konflik di Aceh. Sehingga penegak hukum di Aceh harus yang bisa bersinergi dengan Pemerintah Aceh,” kata pria yang sedang merampungkan desertasi berjudul “Konsultasi dan Pertimbangan Gubernur terhadap Kebijakan Administratif Pemerintahan Pusat di Aceh”.
Selain itu, lanjut Amrizal, keberadaan pasal 205 (tentang pengangkatan Kapolda) dan Pasal 209 (tentang pengangkatan Kajati) dalam UUPA, juga tidak terlepas dengan UU sebelumnya, yaitu UU Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Aceh. “Persetujuan gubernur dalam pengangkatan Kapolda dan Kajati di Aceh juga sudah ada dalam UU Otonomi Khusus,” kata dia.
Kemudian juga berkaitan dengan UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Undang-undang ini salah satunya mengatur tentang pemberlakuan syariat Islam di Aceh ini. “Hubungan UU ini dengan pengangkatan kapolda dan kajati di Aceh adalah, pimpinan penegak hukum haruslah orang yang memahami pelaksanaan syariat Islam di Aceh,” kata Amrizal.
“Perlu diluruskan kepada masyarakat Aceh dan semua pihak, pada prinsipnya Gubernur Aceh tidak berwenang mengatur kapolda dan kajati. Kewenangan yang diberikan kepada gubernur hanya persetujuan pada saat pengangkatan saja. Sementara untuk penegakan hukum tidak ada hubungan dengan gubernur, itu kewenangan penuh kedua lembaga ini,” kata dia.
Ia menegaskan, Gubernur Aceh tidak bisa mencampuri pemberhentian kapolda maupun kajati, karena UUPA tidak mengatur tentang pemberhentian kedua pejabat dimaksud.
Ditanya adanya kekhawatiran hubungan emosional atau politik balas jasa dari kapolda dan kajati kepada gubernur, Amrizal mengatakan seharusnya persetujuan dari gubernur, tidak dilihat sebagai bentuk politik balas jasa oleh kedua pejabat penegak hukum itu. Menurut dia, KPK adalah contoh yang baik dalam mencari perbandingan terhadap kondisi ini.
“Ini bisa dilihat dari KPK, setelah diseleksi oleh pansel yang dibentuk oleh Presiden, lalu ada fit and proper test di DPR, lalu dilantik oleh Presiden, tapi kemudian KPK tidak bisa diintervensi oleh kedua lembaga ini (DPR dan Presiden), karena ini adalah proses administrasi. Saya pikir ini juga berlaku kepada kapolda dan kajati di Aceh,” kata dia.
“Seharusnya yang perlu didorong sekarang adalah, ketika ada dugaan hukum yang diduga melibatkan pejabat Pemerintah Aceh, maka Kapolda dan Kajati harus mengusutnya secara tuntas. Tak perlu khawatir karena gubernur tidak berwenang untuk mengganti kapolda dan kajati,” demikian Amrizal J Prang.(nal)